Jumat, November 28, 2014

Dokter, Jangan Suntik Aku Lagi..

Pengen cerita sedikit pengalaman 'menginap' seminggu di rumah sakit. Awalnya shock dan maksa pulang ga mau dirawat. Pikir gw, rumah sakit itu tempat menyeramkan. Jarum suntiknya aja serem, gimana rumahnya, pasti banyak peralatan yang jauh lebih serem dari jarum suntik. Dan gw tidak pernah berhubungan sama yang namanya jarum suntik, terakhir 'bersentuhan' waktu SMA dulu saat harus cek golongan darah, itu pun harus 3 kali suntik karena gw tegang, tangan dingin jadinya kaku ga bisa disuntik. Dari situ gw kapok.

Anggapan rumah sakit serem itu perlahan pudar saat pelayanan dan suasana rumah sakit tempat gw menginap begitu menentramkan. Setiap dokter, suster, pengantar makanan, dan semua stafnya selalu mengucapkan salam saat datang dan pergi, senyuman juga tak pernah ketinggalan. Ruangan nyaman dan bersih, sangat manusiawi.

Ada satu yang bikin adem, siraman rohani di pagi hari. Saat semangat menciut, tausiah singkat beberapa menit bikin gairah muncul. Yakin, ini hanya ujian sebentar. Rasa sakit berubah jadi ikhlas.

Rasa takut kembali muncul saat beberapa dokter muncul. Diagnosa sementara terkena infeksi saluran percernaan, begitu katanya. Tapi kita coba cek lagi ya, katanya lagi. Hasil berikutnya adalah gw kena usus buntu. Usus buntu gw sudah terinfeksi dan harus dipotong. Jurus cuek, gw terapkan, pura-pura biasa aja.

Setelah vonis dijatuhkan, hari-hari gw tak lepas dari jarum suntik dan infus. Pagi, siang, sore, dan malam. Kalau boleh nawar, cuma pengen bilang, "Dokter, jangan suntik aku lagi, tanganku sudah bengkak".

Oiya, sebelum divonis usus buntu, dokter dan suster mengajukan beberapa pertanyaan seputar pola hidup dan makan. Apa yang dirasakan? "Sakit hati dok, eh sakit perut bagian kanan bawah". Ada alergi makanan? "Ga ada". Punya alergi sesuatu? "Biduran kalo kena dingin+debu". Punya penyakit serius? "Ga ada, cuma maag". Sudah menikah? (Pertanyaan ngeledek nih). "Belum". Satu pertanyaan lagi, konsumsi alkohol? Hening sebentar.. "Cuma wine dok, itu juga sedikit (Cuma 2 gelas+3gelas+nyicip koktail leci segelas)", hahahaha.. (abis ini ga lagi) :D Selanjutnya, pertanyaan yang terus terulang setiap kali diperiksa adalah, "Sudah menikah?". Gw heran, pada hobby banget nanya bagian ini.

Interogasi selesai. Back to usus buntu. Gw berharap ada pengobatan lain selain operasi. Tapi sepertinya ya memang harus operasi. "Ini pisau cukurnya, dicukur habis ya sebelum operasi," kata suster. Perasaan makin gelisah. "Sarapan dulu dihabiskan dan jangan lupa minum obatnya. Setelah itu puasa minimal 6 jam sebelum operasi," katanya lagi. Waduh, makin ga karuan nih perasaan. Tik tok tik tok tik tok.. Waktu menunjukkan jelang pukul 13.00 WIB. "Waktunya operasi ya, lepas semua pakaian," ujar suster yang tiba-tiba gw anggap monster.

Duduk di kursi roda dengan pakaian serba putih, gw merasa bak orang pesakitan yang menunggu eksekusi. Semua orang memandang kasihan melihat gw menuju ruang operasi, perasaan gw tertekan. Perasaan cuek yang awalnya gw tunjukkan, berubah total. Ga kuat menahan rasa takut, akhirnya buliran air mata hangat mengalir di pipi, tsaaahhh drama banget. Itulah kenapa gw cuek, gw ga suka drama. Nangis ndrooo ga nahaann..

Keluarga menunggu di luar. Mimi (nyokap), Papa, kakak-kakakku, adik-adikku, kakak iparku, semua kumpul. Ruang operasi perlahan ditutup. Gw pun kembali "ditelanjangi" ganti "seragam" hijau tua. Berbaringlah di tempat tidur. Beberapa dokter dan yang membantunya sudah siap dengan seragam yang sama. Gw melihat mereka bagai monster yang mau pamer berbagai senjatanya. Tangan kanan kiri gw direntangkan, kaki gw bagian lutut diikat, gw telentang. Lampu-lampu di atas langit-langit yang besar-besar itu sungguh menyilaukan mata, menyempurnakan kalau memang gw akan segera dieksekusi. Suntikan pertama, kedua, ketiga di bagian tangan kiri mulai membuatku lemas dan seketika tak sadarkan diri.

Entah sudah berapa lama, tiba-tiba ada sentuhan di tangan menyadarkanku, "Bangun, operasinya sudah selesai," kata suara itu terdengar remang-remang. Sempat membuka mata dan menatap lampu yang besar-besar itu, akhirnya gw kembali terlelap. Sentuhan kembali kurasakan, "Bangun, sudah Isya". Ternyata itu suara adikku. Ternyata gw udah di kamar lagi.

"Puasa lagi ya sampai besok makan siang," ujar suster. Walah ndrooo, ini tenggorokan udah kering kerontang menunggu kucuran air. Perjuangan pun dimulai. Rasa nyeri bekas operasi mulai terasa. Badan tak bisa digerakkin barang sedikit pun. Badan terasa gerah, sangat, padahal yang lain kedinginan. Satu lagi, ga bisa ngomong, suara ga keluar cuma cengap-cengap doank. Yang paling nyiksa, hauuusss banget. Alhasil, semaleman ga bisa tidur, cuma bisa nangis berharap segera jam makan siang.

Pagi pun datang. "Assalamualaikum.. Dewi boleh minum tapi setes aja ya cuma basahin tenggorokan aja," kata suster. Eh, beneran setetes dikasihnya, ampun deh.. Itu air setetes bagai oase di padang pasir, tsaaahhh.. Makan siang datang, saatnya puas-puasin minum, eh masih dibatasin juga ternyata, semua makanan juga hambar, ya sudahlah ya..

Perjuangan selanjutnya adalah belajar gerak melawan sakit. Gerak kanan, kiri dan perlahan belajar duduk. Besoknya belajar jalan, begitu seterusnya belajar miring kanan, kiri, duduk, dan jalan sampai lancar. Seminggu sudah 'karantina' di tempat ini. Selanjutnya pemulihan di rumah hingga betul-betul sembuh total. Banyak hal yang bisa diambil hikmahnya bahwa tak ada nikmat senikmat nikmat sehat, jagalah masa sehatmu. Sehat itu mahal, maka jagalah sehatmu. Sehat itu indah, maka jagalah masa sehatmu. Satu hal yang baru bisa kita tahu saat kita sakit adalah, kamu tidak bisa memaksa seseorang untuk peduli pada kita, tapi kamu akan tahu berapa banyak sahabatmu yang benar-benar peduli, saat kamu tertimpa 'musibah'.


13-28 November 2014. Rumah Sakit Islam Jakarta, Yarsi, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Terimakasih dokter Winoto.. Terimakasih untuk keluarga dan para sahabat yang sudah merangkul lebih dekat dan memberikan semangat. Love you all.. :)


Senin, Maret 31, 2014

Nightmare on Holiday





“Tuhan, terimakasih masih memberiku kesempatan hidup hingga detik ini. Entah, apa jadinya jika tak ada uluran tangan-Mu saat itu”.

Tak henti-hentinya aku mengucap syukur saat itu dengan tangan gemeteran. Berkali-kali muntah-muntah karena terlalu banyak menelan air, badan lemas dan akhirnya digendong menepi sungai.

Siang itu sekitar pukul 14.00 WIB, aku bersama rombongan yaitu 2 teman perempuanku, dan satu teman laki-laki, satu orang yang katanya instruktur pendamping, satunya lagi ‘pawang’ permainan air yang biasa dikenal dengan ‘ranger’.

Yap, siang itu kita mau bermain tubing di Sungai Ciherang, Desa Asem, Kecamatan Pasawahan, Purwakarta, Jawa Barat. Tubing adalah permainan air menggunakan perahu karet atau ban yang biasa dilakukan di sungai. Jika rafting dalam satu perahu terdapat beberapa orang beserta instrukturnya (biasanya 6-8 orang termasuk 2 instruktur), nah kalau tubing satu perahu/ban dilakukan per individu alias sendiri-sendiri, instruktur pun hanya mendampingi dari depan atau belakang, itu pun kalau tak terpisah arus sungai yang membawa kita.

Siang itu tepatnya Sabtu, 29 Maret 2014, si ranger memastikan arus sungai dalam kondisi aman dan bisa dilakukan permainan tubing. Segala peralatan seperti pelampung, helm, sarung tangan sudah terpasang. Masing-masing peserta mengambil ban satu-satu. “Ingat, kita harus bermain se-rileks mungkin. Kalau terjatuh, jangan panik karena tidak akan tenggelam, sudah ada pelampung, usahakan badan terbaring dan kaki diangkat saat jatuh di air (posisi mengapung), kaki tak perlu mencari pijakan karena bahaya,” begitu kata si ranger. Berdoa pun dimulai sebelum nyemplung. Kami khususnya aku, percayakan semuanya kepada mereka, si ranger dan instruktur pendamping.

Si instruktur pendamping mengawali permainan tubing. Tak pikir panjang, kami satu per satu ikut nyemplung, aku giliran kedua. Oiya ternyata selidik punya selidik, si instruktur pendamping ini baru pertama kali main tubing, alamak! Kok udah bisa jadi instruktur ya?

Permainan pun dimulai. Arus sungai siang itu cukup deras ditambah bebatuan yang besar-besar dan aku baru sadar setelahnya kalau kita bermain di arus liar bukan arus buatan khusus bermain tubing atau rafting.

Dengan arahan dari si ranger sebelumnya, aku berusaha enjoy menyusuri sungai yang memang sejak awal sudah sangat terasa derasnya. Bismillah! Perahuku meluncur mengikuti derasnya arus sungai.

Belum lama dan baru beberapa meter, perahu yang kunaiki sempat oleng.  Banyak cekungan dan riak di sana-sini. Riak pertama berhasil dilewati, begitu pun perahu di depanku. Nah, di cekungan selanjutnya,  lumayan dalam dan arusnya sangat deras, perahuku tak kuat menahan hantaman arus. Seketika itu perahuku terbalik. Aku terguling dan tenggelam. Terseret arus yang sungguh aku rasakan sangat deras saat aku ada di dalamnya.

Saat perahuku terbalik, aku masih melihat perahu pertama masih ada di sampingku. Namun, tak ada respon ketika aku meminta tolong saat aku terlempar dari perahu. Aku berusaha sekuat tenaga untuk meminta bantuan. Tak bisa teriak karena badanku tergulung-gulung. Aku hanya berusaha melambaikan satu tangan kanan ke atas, berharap ada yang melihat dan menolongku dari seretan arus.

Badanku terus berguling-guling di dalam air.  Berkali-kali menghantam bebatuan besar. Aku teringat ‘petuah’ si ranger, “Kalau terjatuh, posisikan badan mengapung dengan kaki di atas (mengapung),” ingatanku saat itu.

Dalam keadaan panik, aku masih berusaha mengikuti petuah si ranger. Tapi petuah itu sangat tidak berlaku saat itu. Pelampung kalah jauh dari derasnya arus. Aku coba praktekkan, namun justru badanku makin terjuangkal ke dalam. Posisi kepalaku justru jadi di bawah dan semakin banyak air yang kutelan. Lagi dan lagi aku berusaha melambaikan tangan, tapi arus itu terus menarikku menjauhi mereka. Badanku lagi-lagi menerjang bebatuan besar. Aku kembali bergulung-gulung di dalam air, tak kuasa menahan apalagi memberhentikan tubuhku sendiri. Badanku sudah lemas, entah sudah berapa banyak air sungai berwarna cokelat itu yang aku telan. Sekitar 15 menit berjuang melawan ‘ganas’nya arus. Badan lemas dan sudah tak kuat. “Perjalanan tubing ini sekitar 3-4 jam. Artinya, masa aku harus terseret selama itu. Jika memang di sini akhir hidupku, aku pasrah,” pikirku saat itu.

Di tengah kepasrahan itu, tiba-tiba aku menerjang batu, ukurannya sedang dan keset (sebelumnya, batu yang menghempas badanku semuanya licin). Kedua telapak kakiku berusaha menahan agar badanku bisa berhenti. Telapak kakiku yang memang sejak awal sepatunya sudah terlepas terbawa arus ternyata masih bisa diandalkan. Badanku terhenti tapi nyaris terseret lagi karena memang deras. Posisiku sudah jauh dari mereka. Aku berusaha berdiri di atas batu untuk meminta pertolongan, melambaikan kedua tanganku.

Aku menunggu di atas batu dalam keadaan seluruh badan gemeteran dan lemas.  Berapa lama kemudian, si ranger menghampiri dan menarikku menjauh dari arus sungai. Aku muntah-muntah, sempat menangis, dan tergolek lemas. Si ranger menggendongku dan membawaku menepi mengantarkanku ke darat. Sempat menyusuri sawah-sawah, aku diantar ke warung dan dibuatkan teh hangat. Hampir seluruh badanku memar-memar, luka-luka terkena hantaman batu besar berkali-kali.

Dan aku baru tahu dari temanku, saat kita sudah nyemplung ke sungai, ternyata si ranger posisinya masih di darat, pantesan tidak ada pertolongan, sementara yang mengikuti  kita hanya instruktur pendamping yang aku tahu saat perahuku terbalik hanya melihat saja tanpa berbuat apa-apa. Shit!

Sungguh ini jadi mimpi buruk dalam hidupku, saat liburan yang harusnya jadi ajang ‘senang-senang’. Hampir saja aku mati konyol terseret arus. Ketidaksiapan SDM tadi ternyata cukup “mencelakai’ kita. Bahkan, obat-obatan pun tidak disiapkan mereka, harus ke klinik dulu baru bisa ditangani, aiihh.. Kami pikir mereka sudah mempersiapkan semuanya termasuk jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Hal yang sama ternyata dialami temanku juga. Dia terseret arus bahkan lebih jauh dari aku. Sialnya lagi, dia  menunggu hampir satu jam untuk mendapatkan pertolongan. Dengan mengandalkan ranting pohon, temanku bertahan menahan seretan arus. “Gw teriak-teriak minta tolong nggak ada yang nolongin, gw cuma bisa nangis dan pasrah, cuma mengandalkan ranting ini, nggak tau deh kalau ranting ini putus,” ujarnya sembari sesenggukan. Kejadian ini cukup membuatku dan temanku trauma. “Tak akan lagi bermain tubing, rafting, atau apa pun yang berhubungan dengan air,” ucap kami.

Permainan tubing ini adalah kali keempat bagiku. Rafting juga sudah beberapa kali aku alami. Tapi semua bisa di atasi. Semua ranger siap di depan, samping, maupun belakang, jadi setiap ada yang jatuh langsung bisa dikejar. Belum pernah mengalami seperti ini. Sungguh mengerikan!

“Memang di arus liar yang namanya liar kita nggak tahu akan seperti apa, arus sungai di sini asli apa adanya, tanpa setting-an, tujuannya uji nyali, tes mental, semacam pengendalian diri. Beda dengan permainan tubing atau rafting di tempat lain yang memang buatan, semuanya di-setting termasuk arus, kalau di sini nggak ada setting-an, senatural mungkin kita berkenalan dengan alam,” kata si ranger, aku lupa namanya.

“Ah, bullshit! Apa pun itu, keselamatan di atas segala-galanya,”  gumamku.

-sangdewi-

Minggu, Maret 16, 2014

Kado Ultah ‘Terindah’ Tahun Ini


Jumat, 14 Maret 2014, tepat pertambahan usiaku. Tak ada firasat apa pun sebelumnya. Niatnya hanya ingin makan di luar bersama sahabatku, Fiki. Ya sekadar traktir makan kecil dan cari kado.

Scoopy cokelat tua meluncur dari rumahku di Cempaka Putih menuju salah satu mal di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Rencana sih berangkat siang, tapi karena banyak ‘gangguan’ teknis kayak pompa ban, pasang kaca spion, dan cuci motor, akhirnya ba’da maghrib baru deh bisa jalan.

Nyampe mal. Biasalah cewek, lama muternya. Akhirnya jatuh cinta pada kemeja biru tua dan kotak-kotak merah muda.  Satu kado dari sahabatku kemeja biru tua, satunya lagi dari kocek sendiri, hehehe.. Lumayanlah ya buat tambahan koleksi kemejaku.

Cacing di perut rupanya mulai protes. Mampirlah di salah satu restoran, masih di mal yang sama. Makan malam singkat selesai. Sekitar setengah sembilan malam menuju parkiran, bersiap pulang.
Beberapa meter sebelum keluar parkiran, mampirlah sebentar ke ruang ATM, ya sekadar mengisi isi dompet yang memang sudah tak nampak lembarannya.

Rute dari mal itu menuju rumah memang mau tak mau harus melewati Terminal dan Pasar Senen. Setengah kencang roda berputar, tiba-tiba sahabatku menghentikan motornya dan mengeluarkan handphone tepat di samping Terminal Senen. “Nyokap gue telepon, nanti ajalah diangkatnya,” ujarnya.

‘Si Manis Upi,’ (begitu aku menyebut Scoopy-ku) kembali meluncur, lumayan kencang karena agak lengang malam itu. Perjalanan mulus hingga melewati kawasan Galur yang memang terkenal rawan kejahatan. Sampai akhirnya melewati Polsek Cempaka Putih dan  tepat di depan jalur cepat Hotel Grand Cempaka, dari arah belakang dan sebelah kanan, tiba-tiba sebuah motor (kayaknya sih Supra) dengan pengemudi laki-laki berperawakan besar, sendiri, menggunakan helm dengan kecepatan tinggi dan secepat kilat menyambar tas sophie martin warna hitam yang aku kempitkan di lengan kanan. Posisi tas pun saya taruh di tengah-tengah antara punggung Fiki dan dadaku, bukan di samping tangan.

Shock! Aku sempat menarik tas ku tapi sudah barang tentu, tenaga aku tak ada apa-apanya dibanding si penjambret itu. Lengan kanan sedikit terkilir dan memerah menahan tarikan tas, sementara sahabat saya, Fiki, kaki sebelah kanan berdarah menahan keseimbangan motor yang sempet oleng. Untung tak ambruk, pikir kami.

“Jambret.. Jambret.. Jambret..” Tak ada yang peduli. Kejar-kejaran sempat terjadi hingga perempatan Galur. Tapi sayang, seokan motor si penjambret bikin kita kehilangan jejak. Rupanya sahabat saya ini belum selihai Valentino Rossi di atas aspal.

Kehilangan arah. Kita pun putar balik menuju kantor polisi terdekat. Tak ada pengharapan apa pun di kantor yang katanya pelayan masyarakat itu. Tapi setidaknya kita bisa dapat selembar kertas untuk mengurus dokumen atau barang-barang kita yang hilang.

“Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan bahwa hari ini, Sabtu, 15 Maret 2014, pukul 21.39 WIB telah datang melapor ke Polsek Cempaka Putih mengaku kehilangan barang: tas sophie martin warna hitam, dompet warna hijau dan cokelat, KTP DKI, NPWP,  ATM BCA, Mega, Danamon, BNI (Alhamdulillah semua ada isinya), power bank, STNK, SIM, Blackberry Javelin, dan uang tunai sekitar Rp 3,3 juta.”

Yaahh.. Itulah setidaknya yang ada di dalam tas warna hitam itu. Semuanya ludes! Aku dan sahabatku hanya terduduk  lemas dan pasrah. Nampak  bodoh karena tak ada perlawanan sama sekali. Laporan di kantor polisi pun hanya catatan di atas kertas.

Ternyata, kado ulang tahun terindah tahun ini bukan kemeja biru tua dari sahabatku atau pun jam tangan casio putih dari adikku. Tapi, sekejap pengalaman yang ‘merenggut’ semua isi jerih payah kami sebagai buruh tinta.

Pelajaran yang perlu diambil:
-Jangan pernah menaruh uang kas berlebih di dalam dompet atau tas. Cukup bawa seadanya.
-Untuk cewek, jangan pernah berkendara motor di malam hari di daerah rawan
-Jangan sekali-kali berhenti di tengah jalan dan mengeluarkan benda berharga sekalipun hanya untuk mengangkat telepon
-Hindari menarik uang di ATM pinggir jalan, rawan pengintaian
-Sebisa mungkin pakailah tas ransel jika berkendara motor, meskipun tas cewek dikempit tetap mudah untuk diambil secara paksa

Semoga Allah menggantinya dengan yang lebih baik dan berkah, amin..

_sangdewi_



Sabtu, Agustus 10, 2013

Tak Ada ‘Lebaran’ di Tahun Ini

Kecewa pasti karena tradisi mudik lebaran hanya terjadi setahun sekali. Mimpi untuk berkumpul bersama keluarga pun terpaksa dipending sampai lebaran tahun depan, itu juga kalau masih dikasih kesempatan umur. Padahal, jarak kampungku dari Jakarta hanya 3 jam di hari normal, namun beda lagi kalau lebaran, bisa jadi seharian di dalam mobil seperti mudik tahun kemarin, dan itu rasanya ‘stres’ banget padahal itu di mobil pribadi, maklum jalur pantura. Hal itulah yang bikin saya ‘ogah’ naik kendaraan umum, ga bisa dibayangin kayak apa rasanya.

H-3 lebaran tepatnya Senin, 5 Agustus 2013 aku masih dapet jadwal masuk kerja dan baru bisa libur di hari Selasa, artinya di H-2 lebaran. Keluargaku sudah memaksaku pulang di H-5 lebaran atau tepatnya weekend di hari Sabtu.

“Cepet pulang nanti macet, sopirnya juga mumpung masih ada, nanti deket-deket lebaran udah ga ada sopir. Kalau mau, sekarang  dijemput,” ujar suara di seberang telepon.

Apa mau dikata, tawaran jemputan yang jadi agenda rutin tiap libur lebaran pun ditolak. “Baru bisa pulang Senin malam atau Selasa pagi,” kataku menjawab telepon. “Susah kalo mepet gitu. Pakai bus umum aja,” begitu katanya.

Tawar-menawar dan rayu-merayu masih menjadi ‘andalan’ kita (aku dan adik perempuanku) untuk bisa dijemput di H-2 lebaran. Setiap tahun tawar-menawar selalu ada dan kita selalu berhasil. Tapi kali ini, semua itu tidak berlaku.

Hingga Rabu, belum ada tanda-tanda keluargaku melunak untuk bisa jemput. Jasa travel dan rental mobil pun diburu tapi sia-sia, dan memang selama ini tidak ada travel yang melayani jurusan Jakarta-Indramayu, rute nanggung!

Tahun ini terancam batal mudik, dan benar saja, hingga malam takbiran keluarga benar-benar tidak ada yang mau mengalah untuk menjemput kita.“Emang sama sekali ga bisa jemput kita?,” kataku lewat sambungan telepon. “Semua mobil keluar, ga ada mobil satu pun, coba usaha sendiri,” katanya menjawab teleponku.
Jawaban di telepon itu cukup membuat kita sadar bahwa bisnis memang menjadi nomor wahid di keluargaku, sementara keluarga entah nomor sekian.

Semua baju baru yang sengaja aku siapkan untuk Mimi (nyokap), Papa, Nenek, dan adik laki-lakiku terpaksa aku “lemarikan’ kembali. Sedikitnya 16 ‘angpao’ lebaran yang sudah aku siapin jauh-jauh hari juga terpaksa aku ‘dompetkan’ kembali. Angpao lucu-lucu buat Mimi, Papa, Nenek, 2 adikku, 7 keponakan, 2 sepupu, dan 2 saudara kecilku terpaksa cuma jadi kenang-kenangan. Semuanya sia-sia! 

Tahun ini, tak ada lebaran untukku. Semua impian di hari lebaran tercecer berantakan hanya masalah sepele.
Tak ada sungkem, tak ada keluarga, tak ada ketupat dan opor ayam, tak ada kembang api, tak ada petasan, tak ada bagi-bagi angpao, dan satu lagi tak ada tangisan nenek di setiap lebaran. Setiap lebaran nenekku selalu nangis saat kita semua cium tangannya, “Kalian yang rukun-rukun ya, mungkin ini lebaran terakhir Ema (panggilan nenek),” ujarnya sembari meneteskan air mata. Tapi nyatanya, hingga tahun ini nenek masih diberikan kesehatan. Mudah-mudahan masih bisa ketemu di lebaran tahun berikutnya ya, nek.. Amin!

Tahun ini menjadi tahun pertama tanpa mudik ke kampung halaman. Jangan nangis Dewi, semangat!
Jika Emosi Mengalahkan Logika, Terbukti Banyak Ruginya, kan?

Lebaran 2013,

_sangdewi_


Minggu, Maret 17, 2013

Tertarik Investasi Reksa Dana? Intip Tips Ini, Yuk..



INVESTASI REKSADANA 2013


Istilah investasi saat ini sudah tak asing lagi. Orang mulai belajar dan berpindah dari semula hanya menabung bertahap ke jenjang yang lebih tinggi yaitu investasi. 

Namun, jangan dilupakan bahwa konsep investasi itu adalah menyisihkan sebagian dari dana kita untuk dikelola dengan tujuan mendapatkan kenaikan imbal hasil di masa yang akan datang, bukan memperoleh keuntungan fantastis dalam waktu singkat.

Jika melihat pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) belakangan yang terus mengalami kenaikan, hal itu bisa menjadi salah satu pertimbangan investor untuk mencoba berinvestasi di reksa dana.
Lihat saja, hingga Februari 2013, IHSG sudah mengalami kenaikan sebesar 13% dan diprediksi bisa meroket hingga 17% di akhir tahun 2013. Angka itu sudah lebih tinggi dari kenaikan IHSG tahun 2012 yang mencapai 12,4%. 

Untuk itu, coba kita tilik progres jenis-jenis reksa dana apa saja yang memberikan imbal hasil paling menggiurkan di tahun ini. Kepala Riset Trust Securities Reza Priyambada mencoba memberi pandangan.

1. Reksa Dana Saham

Jika dilihat dari tingkat return dan risiko, reksa dana saham memiliki peluang imbal hasil terbesar dari jenis reksa dana lainnya. Trend 2013 ini memang milik reksa dana saham karena masih memberikan imbal hasil yang lebih tinggi dari jenis reksa dana lainnya. 

Reza memperkirakan, rata-rata imbal hasil reksa dana saham di tahun ini bisa mencapai angka 20%-30%, bandingkan dengan bunga deposito yang rata-rata hanya memberikan bunga 6% per tahun. Perkiraan return tersebut, kata Reza, dengan asumsi pasar saham di tahun ini masih terus membaik. Dia memprediksi pergerakan IHSG bisa menembus angka 5.000 hingga akhir tahun 2013.

“Return reksa dana saham masih akan baik, tahun lalu saja ada yang 50%, 60%, bahkan 78% per tahun, tapi balik lagi semuanya tergantung pilihan sahamnya dan kemahiran manajer investasi dalam mengelolanya,” cetusnya.

Namun, return tinggi pasti memiliki risiko tinggi. Hal itu berbanding lurus dengan pergerakan harga saham. Jika harga saham naik, maka return reksa dana pun akan mengikuti begitu pun sebaliknya, sementara pergerakan saham, volatilitasnya sangat tinggi.

“Pilihan saham sangat mempengaruhi. Ketika harga saham melonjak, return juga ikut naik, ini berpengaruh terhadap NAB. Manajer investasi (fund manager) harus bisa mengelola dengan baik,” kata Reza.

2. Reksa Dana Pendapatan Tetap

Meskipun reksa dana pendapatan tetap masih menjadi pilihan investasi di tahun ini, namun return atau imbal hasilnya masih lebih rendah dari reksa dana jenis saham. Ini karena volatilitas di reksa dana pendapatan tetap tidak terlalu tinggi karena reksa dana jenis ini merujuk pada surat utang baik surat utang pemerintah maupun swasta.

“Sisi volatilitas reksa dana pendapatan tetap tidak setinggi reksa dana saham,” ujar Reza.

Biasanya, reksa dana jenis ini digunakan investor sebagai saving. Artinya, reksa dana pendapatan tetap akan diburu investor jika pergerakan IHSG mengalami aksi profit taking atau aksi ambil untung yang menyebabkan banyak investor menarik dananya.

“Orang biasanya kalau IHSG banyak aksi ambil untung (profit taking) jadi takut. Nah, daripada uangnya ke mana-mana, lebih baik mereka simpan di reksa dana tetap. Jadi, sambil nunggu koreksi  IHSG, dananya ditaruh di reksa dana tetap,”  terangnya.

Untuk reksa dana ini, Reza memperkirakan bisa menghasilkan return atau imbal hasil di kisaran 10%-15% di tahun ini. Bandingkan dengan bunga deposito yang hanya 6% per tahun atau bahkan tabungan biasa yang hanya kurang dari 5%.

3. Reksa Dana Pasar Uang

Sama halnya dengan reksa dana pendapatan tetap, reksa dana pasar uang juga memiliki return atau imbal hasil yang lebih rendah dari reksa dana saham. Hal itu terkait dengan tingkat volatilitas di pasar uang yang tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan pasar saham.

Reza memperkirakan, return atau imbal hasil yang ditawarkan reksa dana pasar uang ini memang relatif kecil hanya 10%-12% per tahun karena produk ini ditempatkan di produk perbankan. Namun, imbal hasil reksa dana pasar uang ini masih lebih tinggi dari bunga deposito yang hanya ditawarkan di angka 6% per tahunnya.

“Reksa dana ini masuknya ke produk-produk perbankan jadi imbal hasilnya tidak terlalu besar. Risikonya juga relatif lebih kecil,” katanya.

4. Reksa Dana Campuran

Reksa Dana jenis ini diprediksi bisa memberikan return atau imbal hasil yang moderat di kisaran angka 18%-20%. Ini juga masih lebih menarik dari bunga deposito yang hanya 6% per tahun.

Reksa Dana campuran dinilai fleksibel karena penempatannya bisa di 2 produk, yaitu saham dan obligasi. Investasi ini juga dinilai menarik karena variatif. Investor bisa memilih porsinya apakah akan lebih besar di saham atau obligasi.

“Ini fleksibel penempatannya, bisa 50:50 atau 60:40 antara saham dan obligasi. Ini menjadi pilihan menarik karena jika terjadi kenaikan di pasar saham maka imbal hasil menjadi lebih tinggi namun jika pasar saham sedang turun, ada return yang diperoleh dari porsi obligasi,” paparnya.

Nah, bagaimana pilihan investasi yang menarik untuk investor semua dikembalikan kepada ketersediaan dana yang ada saat ini. Perlu diingat, kata Reza, berinvestasi adalah menyisihkan sebagian dana untuk dikelola manajer investasi dalam jangka panjang.

Hal penting lain, kenali dulu produk-produk investasi sebelum berinvestasi, bandingkan imbal hasil yang ditawarkan dengan produk sejenis, ketahui track record perusahaan, selidiki legalitas dan pengelolaan perusahaan agar tidak tertipu dengan iming-iming imbal hasil yang menggiurkan. "Jangan lantas percaya begitu saja karena ditawarkan imbal hasil yang tinggi, selidiki dulu,” kata Reza.

Pare As A Phenomenon



Pare, Kediri, is one of the famous English learning places in Indonesia. Beside a fine place to improve English, it has a lot of supporting facilities like book stores, public libraries, internet cafes and many others.
As an alternative place to learn English, Pare offers more affordable and intensive courses. For those spending holiday, Pare serves exiting educative holiday programs, including English areas.

Not only does Pare provide English courses, but give other language course choises as well, like Arabic, Japanese, Mandarin, and France. Therefore, Pare is an excellent choice to strengthen language skills.
A friendly attitude of native people makes Pare comfortable to stay and learn English. This leads Pare to be an English society, popular as “Kampung Inggris” (Kampong of English).

The existence of “Kampung Inggris” brings advantages which are gotten not only by people visiting Pare, but also by societies living around. The phenomenon of “Kampung Inggris” gives advantages such as increasing in the sector of education, social, and economy, also encouraging between many tribes of Indonesian.

Many English courses and the high rate interest to learn English have accumulated resident income. They can increase their income via boarding house business, bicycle rentals, food stalls and course places.
Summing up, we can say that is a great phenomenon. For those seeking for affordable and intensive English course, Pare is the right choice. For those dreaming big income, Pare can also accommodate.

ENGLISH CAMP

Many people who spend their holiday to study English in Pare choose an English camp as their dormitory. An English camp is a dormitory where its members have to speak English in their daily activities. They decide to stay there because they hope it can be a fine place to guide them to practice English.

Ben, a university student from Jakarta coming to Pare chooses ‘Global English Camp’ as his dormitory. Because ‎​‎​he believes that the English camp can help him practice and improve his skill by the help from the seniors in the camp.

In the same way, Rio, from Cirebon coming to Pare has chosen Awarness English camp as his dormitory. Because ‎​he is sure that ‎​he will be able to speak English fluently by more practice in the camp.

But Olive, a university student from Magelang, has different opinion from above. She prefers to stay at the English camp because staying at lodging house has lower price than staying at the English camp. It’s not guaranteed staying at the camp can make her speak English fluently, clearly, and good. Because it will not certain effective to run the program of the camp if the members are too busy with their activities.

Another assumption for Mr. Abdul Rohim, the manager of Awarness center is that people come to the camp by little English ability made them feel hard to follow the senior who guided to speak in English.
As the fact above people who spend their holiday to study English in Pare have the right choosen place to stay as their needs.


PARE IN MR. KALEND’S VIEW

The development of Pare image, Tulungrejo, ang Pelem villages, Kediri, as a well-known “Kampung Inggris” cannot be separated from the role of Mr. Muhammad Kalend. Born on February 20, 1945 with a wife Siti Fatimah and three children, Mr. Kalend is the founder and the Director of Basic English Course (BEC), the first English course built in Pare.

Though Mr. Kalend’s educational background is not English, his English skill is undisputable. After graduating from Sekolah Rakyat (former elementary school) in 1960, ‎​” he continued to Pendidikan Guru Agama (PGA) and graduated in 1964. Studying in Kuliatul Muaslimin Al-Islamiah (KMI), Gontor, Ponorogo, from 1972 to 1976 was his last formal education.

Mr. Kalend is inspired to learn English by Ustadz Yazied, Darul Falah Islamic Boarding House organizer. Mr. Kalend admires Ustadz Yazid who mastered nine languages only by reading.

Mr. Kalend’s achievement to create a number of good qualified alumni should be appreciated, since some English course organizers in Pare are his former students. But Mr. Kalend expresses his concern over worse and worse motivation of those people learning English today compared with his former students of 80s. “It’s a pathetic, their attention is disturbed by many means of entertainment devices, television, and mobile phones, instead of assisting them. They can stand to chat and watch television for hours, and it seems to be a hard effort to read a book. Nearly my 1980s students were well qualified to be English teachers supported by their willingness to learn English”.

Mr. Kalend is very strict to his teaching methods that ‎​he will expel students who have been in BEC more than three months speaking other non-English in the BEC area.

Mr. Kalend states his objection to those people naming Pare as “Kampung Inggris”. To him, there is no real such thing. It’s just a mere name to attrack people to come to Pare. “You won’t always find residents, vendors, or even English-studying visitors speak English,” said Mr. Kalend. ‎​”, ‎​‎​he consider many English courses with more attractive services offered in Pare may be the reason to this name.

As a founding father of English course in Pare, he mention that not only English has the opportunity to be developed but also other languages, such as Arabic, Japanese, etc. No one is willing to initiate it, but ‎​he, “Any places in Indonesia can imitate Pare to be a center language study”. To do that requires a great determination and patience. We must not only put hope to government assist but also actively explore potential opportunities in Pare.

He also mentions the beneficial effects that can be earned by local residents, for example various work fields that can be raised.

Created by :

TEAM PARE