Jumat, Oktober 02, 2009




Sang Penyelamat di Palang Pintu Kereta
Oleh : Dewi Rachmat Kusuma
------------------------------------


Maman (54), tubuh renta-nya tak menyurutkan niatnya untuk selalu membantu orang lain. Dengan berbekal sebuah peluit dan lambaian tangan serta mata renta yang jeli, ia berusaha untuk menertibkan lalu lintas yang semrawut disepanjang perlintasan kereta api di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Tempat ini biasa disebut perempatan Volvo.
Lokasi ini tak jauh dari stasiun Pasar Minggu, perempatan yang menghubungkan arah Pasar Minggu menuju Kalibata. Tempatnya yang sempit, hanya beberapa meter saja, dan hanya pas untuk menutup palang pintu kereta dari dua arah yang berlawanan.
Jika biasanya perlintasan kereta cukup dengan dua arah yang ditutup palang pintu, berbeda dengan tempat ini. Ada satu jalur lagi yang tidak tertutup palang pintu. Hingga posisinya, satu jalur dari arah Pasar Minggu menuju Kalibata dan dua jalur dari arah Kalibata menuju Pasar Minggu.
Dua jalur itu terbelah dengan berdirinya sebuah warung nasi yang biasa kita sebut warteg dan bengkel motor, sehingga membuat pengendara tak melihat datangnya kereta dari arah Pasar Minggu.
Keadaan tersebut yang membuat Maman tergerak hatinya untuk ikut menertibkan para pengendara yang semrawut itu. “Polisi pun kewalahan menertibkannya”, ungkap Maman.
Setiap harinya, Maman yang memiliki empat orang anak hanya mengandalkan kerelaan dari para pengendara untuk sedikit menyisihkan recehannya. “Saya tidak ingin meminta-minta, saya hanya menerima keihklasan dari mereka yang ingin memberi, tidak pun tak jadi masalah asal saya bisa membantu menyelamatkan mereka”, ucapnya.
Menjadi calo pembuatan SIM atau KTP pun, ia lakoni demi menutupi kebutuhan hidupnya. “Selama ini, cukuplah hanya untuk makan keluarga saja”, ucapnya lirih.
Pekerjaannya sebagai pengatur lalu lintas di palang pintu kereta menuntutnya untuk selalu hati-hati. Lengah berarti maut. Hal itu yang selalu Maman perhatikan betul. “Kesabaran dan kesadaran pengendara pun ikut andil dalam menertibkan lalu lintas ini”, jelasnya.
Lampu putih menyala berarti kereta akan segera datang. Suara peluit pun mengencang dan lambaian tangan siap memberi isyarat bahwa tak boleh ada pengendara yang lewat.
Pernah suatu ketika, “Saat itu hujan deras, ada seorang ibu separuh baya menggunakan sepeda motor, menerobos perlintasan kereta api saat bunyi sirine terdengar, di tengah rel, sepeda motornya macet karena memang rel akan mengunci otomatis ketika kereta api datang, ibu tersebut terjatuh beserta sepeda motor dan kentang bawaannya, melihat kenekatan ibu tersebut, akhinya saya langsung menarik paksa ibu itu dan mengamankan motornya, karena si ibu nekat menyelamatkan kentang bawaannya. Tersadar kalau nyawanya selamat dari maut, ibu itupun langsung memeluk saya dan mengucap syukur”, kenang Maman.
Tak hanya itu, lagi-lagi ketidaksabaran pengendara yang membuatnya harus beradu otot demi menyelamatkan nyawa orang-orang yang melintasi perlintasan itu.
“Pernah ada satu mobil menerobos perlintasan rel ketika sirine berbunyi. Peristiwanya pun sama. Mobil berhenti di tengah rel. Saat itu di dalamnya terdapat empat orang, tak pikir panjang, saya lari, mengetuk pintu mobil dan berteriak meminta seluruh orang dalam mobil itu keluar, namun si ibu, salah satu penumpangnya masih enggan meninggalkan mobil karena memikirkan nasib si mobil, kemudian saya paksa keluar, alhasil semua penumpang selamat namun mobil terseret beberapa meter dan hancur”.
Bagi Maman, nyawa dan keselamatan pengendara di atas segala-galanya. Tak sedikit orang-orang tersebut terlepas dari mautnya, walaupun sang pemilik maut hanyalah satu, sang pencipta. Namun hidup adalah ikhtiar. Dari pengabdian Maman itu, tak berlebihan rasanya jika kita menyebutnya sebagai sang penyelamat di palang pintu kereta. Peran kecil namun bermanfat besar bagi orang lain, yang justru terabaikan dari pandangan kita.

-----0-----

Tidak ada komentar: