Jumat, Oktober 02, 2009

Eksistensi Film Sebagai Produk Budaya
Oleh : Dewi Rachmat Kusuma

Pernah menonton Laskar Pelangi? Denias? atau Ayat-Ayat Cinta? atau mungkin Ketika Cinta Bertasbih yang baru-baru ini diputar di bioskop? Film-film tersebut bisa dikatakan deretan film Indonesia yang mencoba menyuguhkan mutu substansi sebuah karya audio visual yang tak latah dengan sejumlah judul film yang mengumbar muatan kekerasan, seks, horor, dan romantisme percintaan. Judul-judul film tersebut menunjukkan bahwa perfilman nasional Indonesia saat ini terus merangkak untuk membuktikan eksistensinya sebagai salah satu produk budaya yang memiliki identitas. Bisa diartikan, perfilman Indonesia saat ini telah menempati posisi tertentu dalam masyarakat Indonesia. Tak heran, film dijadikan salah satu media untuk menyampaikan informasi yang bersifat mendidik, tidak semata-mata untuk hiburan.
Disamping sebagai media komunikasi, film merupakan karya cipta manusia yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan, salah satunya pendidikan. Melalui film, bisa tergambar ciri budaya masyarakat yang bersangkutan, karena melalui film masyarakat dapat melihat secara nyata apa yang terjadi di tengah masyarakat tertentu.
Film adalah sebuah proses budaya suatu masyarakat yang disajikan dalam bentuk gambar hidup—audio visual—. Tak perlu diperdebatkan lagi bahwa masyarakat cukup menyadari tentang keberadaan film sebagai bukti eksistensi sebuah budaya. Sama seperti buku yang memiliki masa dan pembacanya, maka film pun memiliki jaman dan penontonnya. Saat inilah, masanya perfilman Indonesia bangkit dari keterpurukan, terlepas dari kualitas sebuah film, apapun jenis dan bentuknya, film tetaplah bagian dari budaya sebuah bangsa.
Apapun jenis atau temanya, film selalu memunculkan pesan moral kepada masyarakat yang dapat diserap dengan mudah karena film menyajikan pesan tersebut secara nyata. Gambar hidup yang ditampilkan di film memberi dampak yang berbeda dari untaian kata-kata dalam sebuah buku.
Contoh-contoh film yang telah disebutkan di atas misalnya, tak banyak sineas berusaha tetap menunjukkan ciri budaya bangsanya dengan menyajikan film bernuansa pendidikan, seperti impian seorang anak desa yang ingin bersekolah tinggi, atau kerja keras seorang mahasiswa pribumi di negeri orang demi mencapai cita-cita. Tema-tema yang diangkat identik dengan budaya dan persoalan-persoalan khas masyarakat di negara tersebut. Maka, film memang sesuatu yang khas, unik, dan nyata. Hal tersebut dibuktikan dengan terpilihnya film Laskar Pelangi sebagai pemenang di ajang Indonesia Movie Award (IMA) 2009 beberapa waktu lalu. Ini menunjukkan film sebagai media, mampu mentransfer ideologi dan budaya mereka kepada masyarakat dunia, tanpa harus membuat penontonnya bermimpi.
Namun ketika masyarakat terus-menerus disuguhkan tontonan yang memuat unsur-unsur kekerasan, seks, horor, drama percintaan yang berlebihan oleh para sineas demi orientasinya terhadap pasar, maka tak menutup kemungkinan, semuanya akan terekam menjadi sebuah hal yang wajar jika terjadi dalam kehidupan nyata.
Untuk itu, tak lain untuk menjaga eksistensi tersebut, harus ada kerjasama yang baik antara pemerintah sebagai penentu kebijakan yang relevan dan luwes mengenai perfilman, dan pekerja seni yang menjalankan profesinya dengan merujuk pada fungsi film sebagai media pendidikan bagi masyarakat, serta peran masyarakat dengan mengembangkan sikap-sikap kritis dalam memberikan penilaian terhadap film, serta menjadikan film sebagai media pembelajaran.

Tidak ada komentar: