Bekal yang Tak Pasti
Oleh : Dewi Rachmat Kusuma
-------------------------------------
Tempat tinggalnya hanya cukup untuk melindunginya dari sengat matahari dan derasnya hujan. Atapnya terbuat dari seng, dindingnya disekat menggunakan papan dan lantainya hanya semen kasar yang ditutup pakai karpet plastik tipis. Ukurannya pun hanya sekotak ruangan multifungsi tanpa sekat.
Tempat tidur dari bambu untuk dua cucunya, Riri Rahmadani (6), saat ini sekolah di TK dan Ridho Anriyamsyah (8), duduk di bangku kelas 2 SD dan sang nenek, Suminar (53) tidur di lantai.
Di samping tempat tidur, nyempil dapur dan tempat makan, jika ada tamu, ya semuanya ngumpul jadi satu, di ruangan yang sudah dua tahun ditempatinya itu. Panasnya Pedongkelan, Jakarta Timur itulah mereka bertahan hidup.
Sejak enam tahun silam, saat sang ibu dari anak-anak meninggal dan ayahnya memilih untuk meninggalkan mereka karena tak kuat menanggung beban, memaksa Suminar untuk mengasuh dua bocah yang kini mulai bertanya kemana orang tua mereka.
Setiap harinya, Suminar mengais rezeki dari sisa-sisa botol minuman untuk kemudian dijual ke agen barang-barang bekas. “yah, sehari paling dapet tiga kilo paling sedikit, sekilonya cuma empat ribu, jadi ya cukup buat makan sama jajan anak-anak saja”, ucapnya.
Tak seperti yang lain yang terus mengeluh meratapi susahnya hidup. Bagi Suminar, anak-anak harus tetap sekolah, walaupun sekolah gratis yang fasilitasnya sangat jauh dari sekolah-sekolah pada umumnya.
Tak ada harapan muluk dari nenek itu. Dia hanya ingin kedua cucunya itu kelak tak seperti dirinya. “saya cuma pengen cucu-cucu saya pinter dan bisa menguasai pelajaran, kan ntarnya enak,” harapnya lirih.
Tak jarang Riri dan Ridho mengikuti jejak sang nenek memungut gelas-gelas dan botol-botol yang berserakan. “Lumayan, nambah-nambah penghasilan”, katanya.
“Sisa uangnya kan bisa buat nyicil bayar kontrakan”, tandasnya. “Kalo seratus lima puluh ribu dibayar langsung kan berat”, tambahnya lagi.
Namun, ada tawa menggelitik ketika si bocah ditanya soal cita-cita. “Aku pengen jadi Kamtib biar bisa ngebelain omah”, celetuk Riri polos.
Bagi dua bocah itu, pengalaman buruk tentang pemulung, pengamen jalanan, pedagang asongan dan kamtib masih mengiang dalam ingatannya ketika beberapa waktu silam, ayahnya ditahan karena berdagang di jalan yang tidak semestinya.
“Bekal saya hanya mereka, ya meskipun itu belum pasti, kaya apa nantinya, Tuhan pasti masih kasihan ngeliat kita susah”, pinta sang nenek berkaca-kaca.
-----0-----
Oleh : Dewi Rachmat Kusuma
-------------------------------------
Tempat tinggalnya hanya cukup untuk melindunginya dari sengat matahari dan derasnya hujan. Atapnya terbuat dari seng, dindingnya disekat menggunakan papan dan lantainya hanya semen kasar yang ditutup pakai karpet plastik tipis. Ukurannya pun hanya sekotak ruangan multifungsi tanpa sekat.
Tempat tidur dari bambu untuk dua cucunya, Riri Rahmadani (6), saat ini sekolah di TK dan Ridho Anriyamsyah (8), duduk di bangku kelas 2 SD dan sang nenek, Suminar (53) tidur di lantai.
Di samping tempat tidur, nyempil dapur dan tempat makan, jika ada tamu, ya semuanya ngumpul jadi satu, di ruangan yang sudah dua tahun ditempatinya itu. Panasnya Pedongkelan, Jakarta Timur itulah mereka bertahan hidup.
Sejak enam tahun silam, saat sang ibu dari anak-anak meninggal dan ayahnya memilih untuk meninggalkan mereka karena tak kuat menanggung beban, memaksa Suminar untuk mengasuh dua bocah yang kini mulai bertanya kemana orang tua mereka.
Setiap harinya, Suminar mengais rezeki dari sisa-sisa botol minuman untuk kemudian dijual ke agen barang-barang bekas. “yah, sehari paling dapet tiga kilo paling sedikit, sekilonya cuma empat ribu, jadi ya cukup buat makan sama jajan anak-anak saja”, ucapnya.
Tak seperti yang lain yang terus mengeluh meratapi susahnya hidup. Bagi Suminar, anak-anak harus tetap sekolah, walaupun sekolah gratis yang fasilitasnya sangat jauh dari sekolah-sekolah pada umumnya.
Tak ada harapan muluk dari nenek itu. Dia hanya ingin kedua cucunya itu kelak tak seperti dirinya. “saya cuma pengen cucu-cucu saya pinter dan bisa menguasai pelajaran, kan ntarnya enak,” harapnya lirih.
Tak jarang Riri dan Ridho mengikuti jejak sang nenek memungut gelas-gelas dan botol-botol yang berserakan. “Lumayan, nambah-nambah penghasilan”, katanya.
“Sisa uangnya kan bisa buat nyicil bayar kontrakan”, tandasnya. “Kalo seratus lima puluh ribu dibayar langsung kan berat”, tambahnya lagi.
Namun, ada tawa menggelitik ketika si bocah ditanya soal cita-cita. “Aku pengen jadi Kamtib biar bisa ngebelain omah”, celetuk Riri polos.
Bagi dua bocah itu, pengalaman buruk tentang pemulung, pengamen jalanan, pedagang asongan dan kamtib masih mengiang dalam ingatannya ketika beberapa waktu silam, ayahnya ditahan karena berdagang di jalan yang tidak semestinya.
“Bekal saya hanya mereka, ya meskipun itu belum pasti, kaya apa nantinya, Tuhan pasti masih kasihan ngeliat kita susah”, pinta sang nenek berkaca-kaca.
-----0-----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar