Selasa, Mei 13, 2008

Buka Mata, Penyandang Cacat Juga Butuh Pendidikan

Buka Mata, Penyandang Cacat Juga Butuh Pendidikan

Jakarta, 15 Februari 2008

“Saatnya kita membuka mata untuk lebih menganggap penting bahwa pendidikan wajib bagi siapa saja yang mau belajar, tidak terkecuali para penyandang cacat, mereka juga butuh pendidikan”. Demikian diungkapkan Santo, Penanggung Jawab Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 01 Lenteng Agung, Jakarta Selatan, saat diwawancarai , Kamis (14/2).

Menurut Santo, tidak sempurnanya fisik bukan suatu kendala seseorang untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sekolah ini adalah salah satu wadah untuk membantu penyandang cacat untuk bisa mengikuti kegiatan belajar mengajar. Proses belajar mengajar yang diterapkan di sekolah ini, sama seperti sekolah pada umumnya, yaitu Senin – Sabtu pukul 07.30 – 12.15 WIB, istirahat pukul 09.30 WIB, namun yang membedakan adalah kurikulum yang dibuat. Cara belajar mengajar pada sekolah ini menggunakan kurikulun tersendiri yaitu dengan mengambil mata pelajaran lebih rendah dari sekolah umum, misalnya untuk kelas SMPLB diambil mata pelajaran dari kelas siswa Sekolah Dasar di sekolah umum. Demikian penjelasan Santo.

SLB 01 Lenteng Agung merupakan SLB pertama di DKI Jakarta yang didirikan pemerintah Indonesia pada tahun 1983 yang dulunya bernama Sekolah Uji Coba, yang dirintis oleh Bakri dan Trini, dan dikepalai oleh M.Wachid Al-Wakhidan, S.Pd. Sekolah yang terdiri dari Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) memiliki 11 tenaga pengajar dan 52 siswa pada SMPLB dan SMALB, terdiri dari 32 laki-laki dan 20 perempuan. Masing-masing siswa dibedakan menjadi 4 kelas, yaitu kelas A bagi penyandang Tuna Netra, kelas B bagi penyandang Tuna Rungu/Wicara, kelas C bagi penyandang Tuna Grahita (keterlambatan berpikir), kelas C dibagi 2, yaitu C (Grahita ringan), dan C1 (Grahita berat) dan kelas D bagi penyandang Tuna Daksa (kelainan motorik anggota tubuh/tubuh yang tidak sempurna), serta ada beberapa anak autis namun kelasnya digabung dengan anak yang lain. Hal tersebut dijelaskan Irfan (34) salah seorang pengajar Tuna Rungu.

Irfan menambahkan, sekolah ini terdapat 11 ruangan, tidak termasuk ruang guru dan kepala sekolah, 9 ruangan untuk kelas belajar mengajar, 2 kelas lainnya untuk ruang keterampilan siswa. Biaya yang dikeluarkan cukup dengan Rp.150.000/bulan.

Untuk bisa masuk sekolah ini, perlu ada beberapa tes, diantaranya tes intelektual atau IQ, jika IQ lebih rendah atau jauh di bawah rata-rata orang normal, baru bisa dikatakan ada kelainan, dan hal tersebut sudah dapat memenuhi persyaratan. Jelas Irfan.

Menurut Irfan, tujuan mengajar di SLB ini tentunya karena tantangannya lebih berat, tidak semua orang bisa menjadi pengajar di SLB. Hal itu yang membedakan pengajar di sekolah umum dengan pengajar di SLB. “Itulah yang membuat saya tertarik dan ada rasa iba,” tuturnya.

Dalam menjalankan tugasnya, Irfan juga kadang mengalami kesulitan dalam menghadapi perbedaan kemampuan siswanya, apalagi siswa Tuna Rungu karena kita harus bisa mengekspresikan isi perkataan kita lewat gerak tubuh, jelasnya.

Saat ini, SLB lebih banyak dihuni oleh siswa Tuna Grahita dari pada Tuna Netra, karena setiap tahunnya penyandang buta terus berkurang. Demikian penuturan Irfan

Menurut salah satu siswa Tuna Rungu Yuli (17), kelas 2 SMPLB mengatakan dirinya senang mengikuti kegiatan belajar di SLB ini, selain banyak teman, Yuli juga bisa belajar keterampilan dengan menjahit dan membuat bunga dari sedotan.

Senada dengan Yuli, Neneng (20), salah satu siswa tuna Grahita kelas 3 SMALB menyatakan seorang penyandang cacat juga bisa berprestasi seperti orang normal. Dengan keterampilan yang dimiliki dan terus belajar seseorang bisa menjadi lebih baik.Neneng adalah salah satu siswa yang berprestasi karena pernah mendapatkan juara 1 lomba bola voli dan mendapat ranking pertama di kelasnya. “Saya senang bisa sekolah disini, selain gurunya baik dan perhatian, saya bisa dapat banyak keterampilan seperti menjahit dan tata boga,” tuturnya.

Sedangkan Redi (16) siswa Tuna Grahita kelas 1 SMALB juga berpandangan yang sama dengan murid-murid lainnya. Banyak teman dan bisa belajar bersama dengan orang yang mempunyai kekurangan yang sama bisa menjadi tempat belajar yang menyenangkan. Berbeda dengan komentar Yuli dan Neneng, Redi lebih memilih untuk hanya membantu orang tuanya setelah lulus sekolah, baginya orang tualah yang paling baik dimatanya.

Salah satu orang tua siswa Tuna Grahita Asnur (58) berharap pemerintah bisa memberikan pendidikan yang layak bagi para penyandang cacat seperti halnya siswa normal lainnya. Asnur juga berharap agar anaknya bisa mandiri terlebih untuk dirinya dan tidak tergantung pada orang lain. Tujuannya menyekolahkan anaknya walaupun mempunyai kekurangan adalah untuk martabat secara akademik agar tidak dipandang sebelah mata oleh masyarakat. “Saya tidak merasa minder punya anak seperti ini, saya hanya berharap anak saya bisa mandiri untuk dirinya sendiri,” jelasnya.

Sama halnya dengan Asnur, Cimelia (45) orang tua siswa Tuna Grahita lainnya menyatakan tidak ada salahnya seorang penyandang cacat belajar seperti layaknya orang normal. Supaya anak bisa lebih berkembang dan bergaul dengan orang lain. “Saya merasa senang bisa menyekolahkan anak saya disini, saya tidak merasa minder, saya hanya berharap anak saya pintar, mandiri, dan bisa bersikap seperti anak nomal lainnya,” tegasnya. (wie)

Tidak ada komentar: