Jumat, Oktober 02, 2009




Nafasku adalah Dakwah
Oleh : Dewi Rachmat Kusuma
------------------------------------

Separuh hidupnya, ia abdikan untuk mengasuh pesantren sederhana yang dibina bersama istri tercintanya Hj. Saodah. Bersama delapan anaknya yang kini hanya tersisa enam orang, K.H. Ridwanullah Muin (62) tak pernah lelah untuk berdakwah.
Sejak usia muda, sekitar usia anak SMP, rutinitas mengajar tak pernah lepas dari hidupnya. Abah Ridwan, panggilan akrab sang kiyai, biasa melakukan aktivitas seperti mengajar anak-anak madrasah diniyah pada pagi hari, ibu-ibu majelis ta’lim disiang hari, dan puluhan anak pesantren dimalam hari. “Mungkin saya ditakdirkan untuk ngajar”, tutur sang kiyai.
Tempat yang mewah bukan jaminan menjadikan seseorang bisa belajar dengan baik. Seperti halnya Pondok Pesantren Mambaul Hikam ini, terletak di pinggiran pantura Jawa Barat, Desa Patrol, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu ini terbilang cukup untuk aktivitas belajar-mengajar Al-Quran dan kitab kuning. Bangunannya hanya terdiri dari dua pondok kecil untuk penginapan 50 santri putra dan putri, satu aula untuk mengaji, lapangan basket, dan masing-masing kamar mandi serta kantin.
Mengawali usahanya berkeliling menggunakan sepeda menjual sandal jepit, membuka usaha sembako, rumah makan, bertani, hingga usaha sablon, ia lakoni hingga sampai pada tujuan hidupnya berdakwah di jalan Allah SWT. “Namun, semua usaha itu tak ada yang abadi seperti pekerjaan saya mengajar ini”, jelasnya.
Berbekal tanah warisan orang tua seluas setengah hektar yang ia bagi menjadi tiga tempat, untuk tempat tinggal sederhananya, madrasah, dan pondok pesantren. Untuk makan sehari-harinya bersama keluarga dan santri, ia hanya mengandalkan hasil sewa dari sawah pemberian orang tuanya.
“Sejak masa bujangan dulu, saya selalu diikuti anak-anak yang ingin sekali mengaji. Mereka ingin diajar ngaji. Terus-menerus akhirnya saya terpikir untuk rutin mengajar mereka dengan rumah kecil saya sebagai tempatnya”, Cerita sang kiyai.
Dengan tempat awal, rumahnya yang hanya 7 x 6 meter saja, akhirnya sang kiyai kebingungan setiap kali ia menerima tamu. “Kalau anak-anak semua pada ngaji, kalau ada tamu, tamunya ga bisa masuk, sebaliknya kalau tamu masuk, anak-anak yang ngaji ga bisa masuk”.
Akhirnya saya berpikir, dengan sisa tanah yang saya punya dan bantuan dari masyarakat setempat berdirilah pesantren ini. Sejak didirikan 1990 silam, pesantren ini lambat laun berkembang dengan mendirikan TK Al-Quran kemudian menyusul MDA (Madrasah Diniyah Awaliyah) dan pada tahun 2002 didirikanlah Madrasah Tsanawiyah gratis untuk mereka yang tidak mampu.
Setahun terakhir, pesantren ini mulai mengepakkan sayapnya di udara dengan diluncurkannya radio dakwah bernama Shoutun Nida. Walaupun jarak siarnya hanya beberapa tetangga desa saja. Tak aneh, jika penceramah yang didatangkan untuk mengisi siaran di radio tersebut pun didatangkan secara sukarela dengan tujuan dakwah.
Abah Ridwan dengan latar belakang 12 tahun mendalami ilmu agama di beberapa pondok pesantren seperti Kempek di Cirebon, Poso, Lirboyo di Kediri ini kerap tak menyangka perjalanan hidupnya hingga mencapai keadaan sekarang.
“Saya sadar bahwa ini pemberian Allah yang harus saya syukuri Jangankan orang lain, diri saya saja kaget, kok saya bisa haji, dari mana saya dapet uang, dari mana datangnya? Saya yakin bahwa ini pemberian Allah, dipikir secara logika tidak masuk akal”.
Tak jarang, Abah Ridwan mendapat kesulitan dalam mengurus pesantren yang dinilainya masih sangat memprihatinkan ini. Kendala dana, tenaga pengajar, dan dukungan dari masyarakat pun menjadi beberapa dari alasan yang membuat pesantren ini merayap perlahan sebelum menuju puncaknya.
Beberapa kali pesantren ini nyaris tak berpenghuni, ditambah ketika sang kiyai beberapa kali pula diuji dengan sakit stroke. Namun, atas izin dari sang Kholik, pesantren ini kembali bersuara.
Tujuan hidup saya tak lain adalah memberi manfaat untuk orang lain. Salah satu caranya dengan berdakwah. Tergerak atas perintah Allah dan Rasul bahwasannya setiap kita umat Islam berkewajiban untuk menyampaikan amanat ajaran Allah kepada mereka umumnya semua manusia, khususnya kaum muslim.
Salah satu manfaatnya, “Banyak dari mendengarkan radio kita, alhamdulillah dulunya ga ibadah, setelah mendengar radio tersebut jadi ibadah, dulu ga berjilbab, sekarang berjilbab. Banyak Allah memberi hidayah kepada pendengar-pendengar kita”, ucap syukur sang kiyai.
Tak ada harapan untuk seorang senja seperti saya yaitu memohon kepada Allah SWT, pesantren saya khususnya bisa maju, bisa menyuarakan Islam sesuai dengan ridho Allah, bisa dipimpin anak ketururunan saya untuk bersama-sama belajar di pesantren ini.



-----0-----





Tidak ada komentar: