Dari Emperan Hingga Peraduan
Oleh : Dewi Rachmat Kusuma
-------------------------------------
Malam itu, ada belasan anak jalanan tidur di emperan rumah ibu. Mereka korban banjir saat banjir besar di daerah Galur 6 Februari 1995 silam. Setelah diusir beberapa kali, sekumpulan anak itu tetap saja enggan beralih dari tempatnya.
Tak tega, akhirnya ibu Pandoyo pun memberi mereka makan setiap harinya. Setelah beberapa hari, keberadaan anak-anak itu pun diketahui ketua RT setempat hingga memaksa ibu Pandoyo untuk membubarkannya karena meresahkan masyarakat, katanya. Kenang anak sulung dari almarhum ibu Pandoyo itu.
Cerita itulah yang menggariskan sejarah adanya penampungan anak-anak jalanan, gelandangan, anak yatim, pengamen bahkan preman.
Sepeninggal ibu Pandoyo, tanggungjawab pun diserahkan kepada anak sulungnya, Alexander J. Suwardi. Profesinya sebagai notaris ia tanggalkan demi mewujudkan impian ibundanya, mengurus anak-anak yang seharusnya bukan menjadi tanggungannya.
Tak jarang, Suwardi merogoh kocek untuk menghidupi mereka hingga berhasil menyekolahkan anak-anak asuhnya. Bahkan sampai ke perguruan tinggi.
Dari tempat penampungan inilah, Suwardi mencoba untuk tidak hidup egois. Kepuasan batin ketika melihat anak-anak yang tadinya liar menjadi baik.
“Walaupun segala-galanya butuh uang tapi uang bukan segala-galanya. Kepuasan batin adalah sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan materi”, ucapnya tegas.
Griya Asih yang terletak dipinggiran Jakarta Pusat, Cempaka Putih Barat, Mardani tepatnya, memiliki 56 penghuni dengan latar belakang yang berbeda. Tempatnya sederhana, cukup untuk menampung anak-anak yang kehilangan hak mereka. Sebuah kontrakan yang jauh dari gemerlap mewahnya ibukota Jakarta, namun nyaman untuk ditinggali.
Tak ada niat lain dari penampungan anak-anak itu, alasannya simpel, ia ingin melindungi dan memberi pengakuan tentang keberadaan mereka.
Seperti kebanyakan anak yang lain, mereka pun memiliki hak yang sama. “Dengan adanya rumah tinggal ini saya memiliki harapan agar yang tadinya mereka gelandangan menjadi stay di rumah, dan layaknya anak yang lain, tidak dikucilkan dalam masyarakat, tidak dibuang di masyarakat dan mereka merasa di”orang”kan,” ucap Suwardi.
Namun, kerap kali saya dan pengasuh yang lainnya kewalahan mengurusi mereka, karena dasarnya –maaf— liar, jadi kita berusaha menanamkan nilai-nilai hidup, kami sekolahkan ilmu terapan seperti SMIP atau sekolah perhotelan, sehingga mereka bisa berguna di masyarakat nantinya.
Walaupun donator tetap belum ada, namun untuk biaya sehari-hari dan sekolah anak-anak biasanya ada saja orang yang mau mengulurkan tangannya. Pernah dari Dinas Sosial datang meninjau namun belum sampai memberi bantuan secara konkrit.
“Tak ada yang menandingi rasa bahagia saya ketika melihat anak-anak sukses kelak”. Seperti halnya Herlan, sekarang sudah menjadi kepala salah satu divisi di hotel Akasia, Jakarta dan ada juga yang dulunya tukang tawuran bisa dikatakan preman, sekarang menjadi petani ikan di Jatiluhur.
Dengan cita-cita mencerdaskan anak bangsa, Suwardi berharap ingin memiliki rumah sendiri agar bisa menampung anak-anak dengan tanpa beban. Hingga tak ada lagi cerita anak-anak tinggal di emperan.
-----0-----
Oleh : Dewi Rachmat Kusuma
-------------------------------------
Malam itu, ada belasan anak jalanan tidur di emperan rumah ibu. Mereka korban banjir saat banjir besar di daerah Galur 6 Februari 1995 silam. Setelah diusir beberapa kali, sekumpulan anak itu tetap saja enggan beralih dari tempatnya.
Tak tega, akhirnya ibu Pandoyo pun memberi mereka makan setiap harinya. Setelah beberapa hari, keberadaan anak-anak itu pun diketahui ketua RT setempat hingga memaksa ibu Pandoyo untuk membubarkannya karena meresahkan masyarakat, katanya. Kenang anak sulung dari almarhum ibu Pandoyo itu.
Cerita itulah yang menggariskan sejarah adanya penampungan anak-anak jalanan, gelandangan, anak yatim, pengamen bahkan preman.
Sepeninggal ibu Pandoyo, tanggungjawab pun diserahkan kepada anak sulungnya, Alexander J. Suwardi. Profesinya sebagai notaris ia tanggalkan demi mewujudkan impian ibundanya, mengurus anak-anak yang seharusnya bukan menjadi tanggungannya.
Tak jarang, Suwardi merogoh kocek untuk menghidupi mereka hingga berhasil menyekolahkan anak-anak asuhnya. Bahkan sampai ke perguruan tinggi.
Dari tempat penampungan inilah, Suwardi mencoba untuk tidak hidup egois. Kepuasan batin ketika melihat anak-anak yang tadinya liar menjadi baik.
“Walaupun segala-galanya butuh uang tapi uang bukan segala-galanya. Kepuasan batin adalah sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan materi”, ucapnya tegas.
Griya Asih yang terletak dipinggiran Jakarta Pusat, Cempaka Putih Barat, Mardani tepatnya, memiliki 56 penghuni dengan latar belakang yang berbeda. Tempatnya sederhana, cukup untuk menampung anak-anak yang kehilangan hak mereka. Sebuah kontrakan yang jauh dari gemerlap mewahnya ibukota Jakarta, namun nyaman untuk ditinggali.
Tak ada niat lain dari penampungan anak-anak itu, alasannya simpel, ia ingin melindungi dan memberi pengakuan tentang keberadaan mereka.
Seperti kebanyakan anak yang lain, mereka pun memiliki hak yang sama. “Dengan adanya rumah tinggal ini saya memiliki harapan agar yang tadinya mereka gelandangan menjadi stay di rumah, dan layaknya anak yang lain, tidak dikucilkan dalam masyarakat, tidak dibuang di masyarakat dan mereka merasa di”orang”kan,” ucap Suwardi.
Namun, kerap kali saya dan pengasuh yang lainnya kewalahan mengurusi mereka, karena dasarnya –maaf— liar, jadi kita berusaha menanamkan nilai-nilai hidup, kami sekolahkan ilmu terapan seperti SMIP atau sekolah perhotelan, sehingga mereka bisa berguna di masyarakat nantinya.
Walaupun donator tetap belum ada, namun untuk biaya sehari-hari dan sekolah anak-anak biasanya ada saja orang yang mau mengulurkan tangannya. Pernah dari Dinas Sosial datang meninjau namun belum sampai memberi bantuan secara konkrit.
“Tak ada yang menandingi rasa bahagia saya ketika melihat anak-anak sukses kelak”. Seperti halnya Herlan, sekarang sudah menjadi kepala salah satu divisi di hotel Akasia, Jakarta dan ada juga yang dulunya tukang tawuran bisa dikatakan preman, sekarang menjadi petani ikan di Jatiluhur.
Dengan cita-cita mencerdaskan anak bangsa, Suwardi berharap ingin memiliki rumah sendiri agar bisa menampung anak-anak dengan tanpa beban. Hingga tak ada lagi cerita anak-anak tinggal di emperan.
-----0-----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar