Jumat, November 28, 2014

Dokter, Jangan Suntik Aku Lagi..

Pengen cerita sedikit pengalaman 'menginap' seminggu di rumah sakit. Awalnya shock dan maksa pulang ga mau dirawat. Pikir gw, rumah sakit itu tempat menyeramkan. Jarum suntiknya aja serem, gimana rumahnya, pasti banyak peralatan yang jauh lebih serem dari jarum suntik. Dan gw tidak pernah berhubungan sama yang namanya jarum suntik, terakhir 'bersentuhan' waktu SMA dulu saat harus cek golongan darah, itu pun harus 3 kali suntik karena gw tegang, tangan dingin jadinya kaku ga bisa disuntik. Dari situ gw kapok.

Anggapan rumah sakit serem itu perlahan pudar saat pelayanan dan suasana rumah sakit tempat gw menginap begitu menentramkan. Setiap dokter, suster, pengantar makanan, dan semua stafnya selalu mengucapkan salam saat datang dan pergi, senyuman juga tak pernah ketinggalan. Ruangan nyaman dan bersih, sangat manusiawi.

Ada satu yang bikin adem, siraman rohani di pagi hari. Saat semangat menciut, tausiah singkat beberapa menit bikin gairah muncul. Yakin, ini hanya ujian sebentar. Rasa sakit berubah jadi ikhlas.

Rasa takut kembali muncul saat beberapa dokter muncul. Diagnosa sementara terkena infeksi saluran percernaan, begitu katanya. Tapi kita coba cek lagi ya, katanya lagi. Hasil berikutnya adalah gw kena usus buntu. Usus buntu gw sudah terinfeksi dan harus dipotong. Jurus cuek, gw terapkan, pura-pura biasa aja.

Setelah vonis dijatuhkan, hari-hari gw tak lepas dari jarum suntik dan infus. Pagi, siang, sore, dan malam. Kalau boleh nawar, cuma pengen bilang, "Dokter, jangan suntik aku lagi, tanganku sudah bengkak".

Oiya, sebelum divonis usus buntu, dokter dan suster mengajukan beberapa pertanyaan seputar pola hidup dan makan. Apa yang dirasakan? "Sakit hati dok, eh sakit perut bagian kanan bawah". Ada alergi makanan? "Ga ada". Punya alergi sesuatu? "Biduran kalo kena dingin+debu". Punya penyakit serius? "Ga ada, cuma maag". Sudah menikah? (Pertanyaan ngeledek nih). "Belum". Satu pertanyaan lagi, konsumsi alkohol? Hening sebentar.. "Cuma wine dok, itu juga sedikit (Cuma 2 gelas+3gelas+nyicip koktail leci segelas)", hahahaha.. (abis ini ga lagi) :D Selanjutnya, pertanyaan yang terus terulang setiap kali diperiksa adalah, "Sudah menikah?". Gw heran, pada hobby banget nanya bagian ini.

Interogasi selesai. Back to usus buntu. Gw berharap ada pengobatan lain selain operasi. Tapi sepertinya ya memang harus operasi. "Ini pisau cukurnya, dicukur habis ya sebelum operasi," kata suster. Perasaan makin gelisah. "Sarapan dulu dihabiskan dan jangan lupa minum obatnya. Setelah itu puasa minimal 6 jam sebelum operasi," katanya lagi. Waduh, makin ga karuan nih perasaan. Tik tok tik tok tik tok.. Waktu menunjukkan jelang pukul 13.00 WIB. "Waktunya operasi ya, lepas semua pakaian," ujar suster yang tiba-tiba gw anggap monster.

Duduk di kursi roda dengan pakaian serba putih, gw merasa bak orang pesakitan yang menunggu eksekusi. Semua orang memandang kasihan melihat gw menuju ruang operasi, perasaan gw tertekan. Perasaan cuek yang awalnya gw tunjukkan, berubah total. Ga kuat menahan rasa takut, akhirnya buliran air mata hangat mengalir di pipi, tsaaahhh drama banget. Itulah kenapa gw cuek, gw ga suka drama. Nangis ndrooo ga nahaann..

Keluarga menunggu di luar. Mimi (nyokap), Papa, kakak-kakakku, adik-adikku, kakak iparku, semua kumpul. Ruang operasi perlahan ditutup. Gw pun kembali "ditelanjangi" ganti "seragam" hijau tua. Berbaringlah di tempat tidur. Beberapa dokter dan yang membantunya sudah siap dengan seragam yang sama. Gw melihat mereka bagai monster yang mau pamer berbagai senjatanya. Tangan kanan kiri gw direntangkan, kaki gw bagian lutut diikat, gw telentang. Lampu-lampu di atas langit-langit yang besar-besar itu sungguh menyilaukan mata, menyempurnakan kalau memang gw akan segera dieksekusi. Suntikan pertama, kedua, ketiga di bagian tangan kiri mulai membuatku lemas dan seketika tak sadarkan diri.

Entah sudah berapa lama, tiba-tiba ada sentuhan di tangan menyadarkanku, "Bangun, operasinya sudah selesai," kata suara itu terdengar remang-remang. Sempat membuka mata dan menatap lampu yang besar-besar itu, akhirnya gw kembali terlelap. Sentuhan kembali kurasakan, "Bangun, sudah Isya". Ternyata itu suara adikku. Ternyata gw udah di kamar lagi.

"Puasa lagi ya sampai besok makan siang," ujar suster. Walah ndrooo, ini tenggorokan udah kering kerontang menunggu kucuran air. Perjuangan pun dimulai. Rasa nyeri bekas operasi mulai terasa. Badan tak bisa digerakkin barang sedikit pun. Badan terasa gerah, sangat, padahal yang lain kedinginan. Satu lagi, ga bisa ngomong, suara ga keluar cuma cengap-cengap doank. Yang paling nyiksa, hauuusss banget. Alhasil, semaleman ga bisa tidur, cuma bisa nangis berharap segera jam makan siang.

Pagi pun datang. "Assalamualaikum.. Dewi boleh minum tapi setes aja ya cuma basahin tenggorokan aja," kata suster. Eh, beneran setetes dikasihnya, ampun deh.. Itu air setetes bagai oase di padang pasir, tsaaahhh.. Makan siang datang, saatnya puas-puasin minum, eh masih dibatasin juga ternyata, semua makanan juga hambar, ya sudahlah ya..

Perjuangan selanjutnya adalah belajar gerak melawan sakit. Gerak kanan, kiri dan perlahan belajar duduk. Besoknya belajar jalan, begitu seterusnya belajar miring kanan, kiri, duduk, dan jalan sampai lancar. Seminggu sudah 'karantina' di tempat ini. Selanjutnya pemulihan di rumah hingga betul-betul sembuh total. Banyak hal yang bisa diambil hikmahnya bahwa tak ada nikmat senikmat nikmat sehat, jagalah masa sehatmu. Sehat itu mahal, maka jagalah sehatmu. Sehat itu indah, maka jagalah masa sehatmu. Satu hal yang baru bisa kita tahu saat kita sakit adalah, kamu tidak bisa memaksa seseorang untuk peduli pada kita, tapi kamu akan tahu berapa banyak sahabatmu yang benar-benar peduli, saat kamu tertimpa 'musibah'.


13-28 November 2014. Rumah Sakit Islam Jakarta, Yarsi, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Terimakasih dokter Winoto.. Terimakasih untuk keluarga dan para sahabat yang sudah merangkul lebih dekat dan memberikan semangat. Love you all.. :)


Tidak ada komentar: