Senin, Maret 31, 2014

Nightmare on Holiday





“Tuhan, terimakasih masih memberiku kesempatan hidup hingga detik ini. Entah, apa jadinya jika tak ada uluran tangan-Mu saat itu”.

Tak henti-hentinya aku mengucap syukur saat itu dengan tangan gemeteran. Berkali-kali muntah-muntah karena terlalu banyak menelan air, badan lemas dan akhirnya digendong menepi sungai.

Siang itu sekitar pukul 14.00 WIB, aku bersama rombongan yaitu 2 teman perempuanku, dan satu teman laki-laki, satu orang yang katanya instruktur pendamping, satunya lagi ‘pawang’ permainan air yang biasa dikenal dengan ‘ranger’.

Yap, siang itu kita mau bermain tubing di Sungai Ciherang, Desa Asem, Kecamatan Pasawahan, Purwakarta, Jawa Barat. Tubing adalah permainan air menggunakan perahu karet atau ban yang biasa dilakukan di sungai. Jika rafting dalam satu perahu terdapat beberapa orang beserta instrukturnya (biasanya 6-8 orang termasuk 2 instruktur), nah kalau tubing satu perahu/ban dilakukan per individu alias sendiri-sendiri, instruktur pun hanya mendampingi dari depan atau belakang, itu pun kalau tak terpisah arus sungai yang membawa kita.

Siang itu tepatnya Sabtu, 29 Maret 2014, si ranger memastikan arus sungai dalam kondisi aman dan bisa dilakukan permainan tubing. Segala peralatan seperti pelampung, helm, sarung tangan sudah terpasang. Masing-masing peserta mengambil ban satu-satu. “Ingat, kita harus bermain se-rileks mungkin. Kalau terjatuh, jangan panik karena tidak akan tenggelam, sudah ada pelampung, usahakan badan terbaring dan kaki diangkat saat jatuh di air (posisi mengapung), kaki tak perlu mencari pijakan karena bahaya,” begitu kata si ranger. Berdoa pun dimulai sebelum nyemplung. Kami khususnya aku, percayakan semuanya kepada mereka, si ranger dan instruktur pendamping.

Si instruktur pendamping mengawali permainan tubing. Tak pikir panjang, kami satu per satu ikut nyemplung, aku giliran kedua. Oiya ternyata selidik punya selidik, si instruktur pendamping ini baru pertama kali main tubing, alamak! Kok udah bisa jadi instruktur ya?

Permainan pun dimulai. Arus sungai siang itu cukup deras ditambah bebatuan yang besar-besar dan aku baru sadar setelahnya kalau kita bermain di arus liar bukan arus buatan khusus bermain tubing atau rafting.

Dengan arahan dari si ranger sebelumnya, aku berusaha enjoy menyusuri sungai yang memang sejak awal sudah sangat terasa derasnya. Bismillah! Perahuku meluncur mengikuti derasnya arus sungai.

Belum lama dan baru beberapa meter, perahu yang kunaiki sempat oleng.  Banyak cekungan dan riak di sana-sini. Riak pertama berhasil dilewati, begitu pun perahu di depanku. Nah, di cekungan selanjutnya,  lumayan dalam dan arusnya sangat deras, perahuku tak kuat menahan hantaman arus. Seketika itu perahuku terbalik. Aku terguling dan tenggelam. Terseret arus yang sungguh aku rasakan sangat deras saat aku ada di dalamnya.

Saat perahuku terbalik, aku masih melihat perahu pertama masih ada di sampingku. Namun, tak ada respon ketika aku meminta tolong saat aku terlempar dari perahu. Aku berusaha sekuat tenaga untuk meminta bantuan. Tak bisa teriak karena badanku tergulung-gulung. Aku hanya berusaha melambaikan satu tangan kanan ke atas, berharap ada yang melihat dan menolongku dari seretan arus.

Badanku terus berguling-guling di dalam air.  Berkali-kali menghantam bebatuan besar. Aku teringat ‘petuah’ si ranger, “Kalau terjatuh, posisikan badan mengapung dengan kaki di atas (mengapung),” ingatanku saat itu.

Dalam keadaan panik, aku masih berusaha mengikuti petuah si ranger. Tapi petuah itu sangat tidak berlaku saat itu. Pelampung kalah jauh dari derasnya arus. Aku coba praktekkan, namun justru badanku makin terjuangkal ke dalam. Posisi kepalaku justru jadi di bawah dan semakin banyak air yang kutelan. Lagi dan lagi aku berusaha melambaikan tangan, tapi arus itu terus menarikku menjauhi mereka. Badanku lagi-lagi menerjang bebatuan besar. Aku kembali bergulung-gulung di dalam air, tak kuasa menahan apalagi memberhentikan tubuhku sendiri. Badanku sudah lemas, entah sudah berapa banyak air sungai berwarna cokelat itu yang aku telan. Sekitar 15 menit berjuang melawan ‘ganas’nya arus. Badan lemas dan sudah tak kuat. “Perjalanan tubing ini sekitar 3-4 jam. Artinya, masa aku harus terseret selama itu. Jika memang di sini akhir hidupku, aku pasrah,” pikirku saat itu.

Di tengah kepasrahan itu, tiba-tiba aku menerjang batu, ukurannya sedang dan keset (sebelumnya, batu yang menghempas badanku semuanya licin). Kedua telapak kakiku berusaha menahan agar badanku bisa berhenti. Telapak kakiku yang memang sejak awal sepatunya sudah terlepas terbawa arus ternyata masih bisa diandalkan. Badanku terhenti tapi nyaris terseret lagi karena memang deras. Posisiku sudah jauh dari mereka. Aku berusaha berdiri di atas batu untuk meminta pertolongan, melambaikan kedua tanganku.

Aku menunggu di atas batu dalam keadaan seluruh badan gemeteran dan lemas.  Berapa lama kemudian, si ranger menghampiri dan menarikku menjauh dari arus sungai. Aku muntah-muntah, sempat menangis, dan tergolek lemas. Si ranger menggendongku dan membawaku menepi mengantarkanku ke darat. Sempat menyusuri sawah-sawah, aku diantar ke warung dan dibuatkan teh hangat. Hampir seluruh badanku memar-memar, luka-luka terkena hantaman batu besar berkali-kali.

Dan aku baru tahu dari temanku, saat kita sudah nyemplung ke sungai, ternyata si ranger posisinya masih di darat, pantesan tidak ada pertolongan, sementara yang mengikuti  kita hanya instruktur pendamping yang aku tahu saat perahuku terbalik hanya melihat saja tanpa berbuat apa-apa. Shit!

Sungguh ini jadi mimpi buruk dalam hidupku, saat liburan yang harusnya jadi ajang ‘senang-senang’. Hampir saja aku mati konyol terseret arus. Ketidaksiapan SDM tadi ternyata cukup “mencelakai’ kita. Bahkan, obat-obatan pun tidak disiapkan mereka, harus ke klinik dulu baru bisa ditangani, aiihh.. Kami pikir mereka sudah mempersiapkan semuanya termasuk jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Hal yang sama ternyata dialami temanku juga. Dia terseret arus bahkan lebih jauh dari aku. Sialnya lagi, dia  menunggu hampir satu jam untuk mendapatkan pertolongan. Dengan mengandalkan ranting pohon, temanku bertahan menahan seretan arus. “Gw teriak-teriak minta tolong nggak ada yang nolongin, gw cuma bisa nangis dan pasrah, cuma mengandalkan ranting ini, nggak tau deh kalau ranting ini putus,” ujarnya sembari sesenggukan. Kejadian ini cukup membuatku dan temanku trauma. “Tak akan lagi bermain tubing, rafting, atau apa pun yang berhubungan dengan air,” ucap kami.

Permainan tubing ini adalah kali keempat bagiku. Rafting juga sudah beberapa kali aku alami. Tapi semua bisa di atasi. Semua ranger siap di depan, samping, maupun belakang, jadi setiap ada yang jatuh langsung bisa dikejar. Belum pernah mengalami seperti ini. Sungguh mengerikan!

“Memang di arus liar yang namanya liar kita nggak tahu akan seperti apa, arus sungai di sini asli apa adanya, tanpa setting-an, tujuannya uji nyali, tes mental, semacam pengendalian diri. Beda dengan permainan tubing atau rafting di tempat lain yang memang buatan, semuanya di-setting termasuk arus, kalau di sini nggak ada setting-an, senatural mungkin kita berkenalan dengan alam,” kata si ranger, aku lupa namanya.

“Ah, bullshit! Apa pun itu, keselamatan di atas segala-galanya,”  gumamku.

-sangdewi-

Tidak ada komentar: