“Tuhan,
terimakasih masih memberiku kesempatan hidup hingga detik ini. Entah, apa
jadinya jika tak ada uluran tangan-Mu saat itu”.
Tak
henti-hentinya aku mengucap syukur saat itu dengan tangan gemeteran. Berkali-kali
muntah-muntah karena terlalu banyak menelan air, badan lemas dan akhirnya
digendong menepi sungai.
Siang
itu sekitar pukul 14.00 WIB, aku bersama rombongan yaitu 2 teman perempuanku,
dan satu teman laki-laki, satu orang yang katanya instruktur pendamping,
satunya lagi ‘pawang’ permainan air yang biasa dikenal dengan ‘ranger’.
Yap,
siang itu kita mau bermain tubing di Sungai Ciherang, Desa Asem, Kecamatan Pasawahan,
Purwakarta, Jawa Barat. Tubing adalah permainan air menggunakan perahu karet
atau ban yang biasa dilakukan di sungai. Jika rafting dalam satu perahu terdapat beberapa orang beserta
instrukturnya (biasanya 6-8 orang termasuk 2 instruktur), nah kalau tubing satu
perahu/ban dilakukan per individu alias sendiri-sendiri, instruktur pun hanya
mendampingi dari depan atau belakang, itu pun kalau tak terpisah arus sungai
yang membawa kita.
Siang
itu tepatnya Sabtu, 29 Maret 2014, si ranger memastikan arus sungai dalam
kondisi aman dan bisa dilakukan permainan tubing. Segala peralatan seperti
pelampung, helm, sarung tangan sudah terpasang. Masing-masing peserta mengambil
ban satu-satu. “Ingat, kita harus bermain se-rileks mungkin. Kalau terjatuh, jangan panik karena tidak akan
tenggelam, sudah ada pelampung, usahakan badan terbaring dan kaki diangkat saat
jatuh di air (posisi mengapung), kaki tak perlu mencari pijakan karena bahaya,”
begitu kata si ranger. Berdoa pun dimulai sebelum nyemplung. Kami khususnya aku, percayakan semuanya kepada mereka,
si ranger dan instruktur pendamping.
Si
instruktur pendamping mengawali permainan tubing. Tak pikir panjang, kami satu
per satu ikut nyemplung, aku giliran kedua. Oiya ternyata selidik punya
selidik, si instruktur pendamping ini baru pertama kali main tubing, alamak! Kok udah bisa jadi instruktur ya?
Permainan
pun dimulai. Arus sungai siang itu cukup deras ditambah bebatuan yang
besar-besar dan aku baru sadar setelahnya kalau kita bermain di arus liar bukan
arus buatan khusus bermain tubing atau rafting.
Dengan
arahan dari si ranger sebelumnya, aku berusaha enjoy menyusuri sungai yang memang sejak awal sudah sangat terasa
derasnya. Bismillah! Perahuku meluncur mengikuti derasnya arus sungai.
Belum
lama dan baru beberapa meter, perahu yang kunaiki sempat oleng. Banyak cekungan dan riak di sana-sini. Riak pertama
berhasil dilewati, begitu pun perahu di depanku. Nah, di cekungan selanjutnya, lumayan dalam dan arusnya sangat deras,
perahuku tak kuat menahan hantaman arus. Seketika itu perahuku terbalik. Aku terguling
dan tenggelam. Terseret arus yang sungguh aku rasakan sangat deras saat aku ada
di dalamnya.
Saat
perahuku terbalik, aku masih melihat perahu pertama masih ada di sampingku. Namun,
tak ada respon ketika aku meminta tolong saat aku terlempar dari perahu. Aku berusaha
sekuat tenaga untuk meminta bantuan. Tak bisa teriak karena badanku
tergulung-gulung. Aku hanya berusaha melambaikan satu tangan kanan ke atas,
berharap ada yang melihat dan menolongku dari seretan arus.
Badanku
terus berguling-guling di dalam air. Berkali-kali
menghantam bebatuan besar. Aku teringat ‘petuah’ si ranger, “Kalau terjatuh,
posisikan badan mengapung dengan kaki di atas (mengapung),” ingatanku saat itu.
Dalam
keadaan panik, aku masih berusaha mengikuti petuah si ranger. Tapi petuah itu
sangat tidak berlaku saat itu. Pelampung kalah jauh dari derasnya arus. Aku coba
praktekkan, namun justru badanku makin terjuangkal ke dalam. Posisi kepalaku
justru jadi di bawah dan semakin banyak air yang kutelan. Lagi dan lagi aku
berusaha melambaikan tangan, tapi arus itu terus menarikku menjauhi mereka. Badanku
lagi-lagi menerjang bebatuan besar. Aku kembali bergulung-gulung di dalam air,
tak kuasa menahan apalagi memberhentikan tubuhku sendiri. Badanku sudah lemas,
entah sudah berapa banyak air sungai berwarna cokelat itu yang aku telan. Sekitar
15 menit berjuang melawan ‘ganas’nya arus. Badan lemas dan sudah tak kuat. “Perjalanan
tubing ini sekitar 3-4 jam. Artinya, masa aku harus terseret selama itu. Jika memang
di sini akhir hidupku, aku pasrah,” pikirku saat itu.
Di
tengah kepasrahan itu, tiba-tiba aku menerjang batu, ukurannya sedang dan keset
(sebelumnya, batu yang menghempas badanku semuanya licin). Kedua telapak kakiku
berusaha menahan agar badanku bisa berhenti. Telapak kakiku yang memang sejak
awal sepatunya sudah terlepas terbawa arus ternyata masih bisa diandalkan. Badanku
terhenti tapi nyaris terseret lagi karena memang deras. Posisiku sudah jauh
dari mereka. Aku berusaha berdiri di atas batu untuk meminta pertolongan,
melambaikan kedua tanganku.
Aku
menunggu di atas batu dalam keadaan seluruh badan gemeteran dan lemas. Berapa lama kemudian, si ranger menghampiri
dan menarikku menjauh dari arus sungai. Aku muntah-muntah, sempat menangis, dan
tergolek lemas. Si ranger menggendongku dan membawaku menepi mengantarkanku ke
darat. Sempat menyusuri sawah-sawah, aku diantar ke warung dan dibuatkan teh
hangat. Hampir seluruh badanku memar-memar, luka-luka terkena hantaman batu
besar berkali-kali.
Dan
aku baru tahu dari temanku, saat kita sudah nyemplung
ke sungai, ternyata si ranger posisinya masih di darat, pantesan tidak ada pertolongan, sementara yang mengikuti kita hanya instruktur pendamping yang aku
tahu saat perahuku terbalik hanya melihat saja tanpa berbuat apa-apa. Shit!
Sungguh
ini jadi mimpi buruk dalam hidupku, saat liburan yang harusnya jadi ajang ‘senang-senang’.
Hampir saja aku mati konyol terseret arus. Ketidaksiapan SDM tadi ternyata
cukup “mencelakai’ kita. Bahkan, obat-obatan pun tidak disiapkan mereka, harus
ke klinik dulu baru bisa ditangani, aiihh.. Kami pikir mereka sudah
mempersiapkan semuanya termasuk jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Hal
yang sama ternyata dialami temanku juga. Dia terseret arus bahkan lebih jauh
dari aku. Sialnya lagi, dia menunggu
hampir satu jam untuk mendapatkan pertolongan. Dengan mengandalkan ranting
pohon, temanku bertahan menahan seretan arus. “Gw teriak-teriak minta tolong
nggak ada yang nolongin, gw cuma bisa nangis dan pasrah, cuma mengandalkan
ranting ini, nggak tau deh kalau ranting ini putus,” ujarnya sembari
sesenggukan. Kejadian ini cukup membuatku dan temanku trauma. “Tak akan lagi bermain
tubing, rafting, atau apa pun yang berhubungan dengan air,” ucap kami.
Permainan
tubing ini adalah kali keempat bagiku. Rafting
juga sudah beberapa kali aku alami. Tapi semua bisa di atasi. Semua ranger siap
di depan, samping, maupun belakang, jadi setiap ada yang jatuh langsung bisa
dikejar. Belum pernah mengalami seperti ini. Sungguh mengerikan!
“Memang di arus liar yang namanya liar kita nggak tahu akan
seperti apa, arus sungai di sini asli apa adanya, tanpa setting-an, tujuannya uji nyali, tes mental, semacam pengendalian
diri. Beda dengan permainan tubing atau rafting
di tempat lain yang memang buatan, semuanya di-setting termasuk arus, kalau di sini nggak ada setting-an, senatural mungkin kita berkenalan dengan alam,”
kata si ranger, aku lupa namanya.
“Ah, bullshit! Apa
pun itu, keselamatan di atas segala-galanya,”
gumamku.
-sangdewi-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar