Pahlawan itu Bernama Master
Oleh : Dewi Rachmat Kusuma
-------------------------------------
Nurrohim dan Purwandri Ono sepakat mendirikan sekolah untuk anak-anak jalanan. Tak ada manusia yang menginginkan terlahir menjadi gelandangan. Begitu juga dengan anak-anak di sekolah ini. Yayasan Bina Insan Mandiri ini telah menelurkan sekitar seribu-an murid sejak tahun 2004 dengan 50 tenaga pengajar relawan.
Dari TK, SD, SMP, hingga SMA, semua kalangan pinggiran itu belajar disini. Bahkan, ada program satu tahun kelas akademisi untuk mereka yang memiliki akademis bagus dan akan dilanjutkan ke perguruan tinggi. Semua pendidikan itu gratis yang nyata bukan mitos.
Ketika itu, ungkap Andre (42), sapaan akrab Purwandri Ono, aktivitas saya yang berjualan handphone di terminal Depok selalu mampir ke masjid saat istirahat. Selain sholat, tak hanya untuk merebahkan tubuh karena letih, saya pun memperhatikan lalu lalang sekumpulan anak yang asyik bersenda gurau dengan masing-masing alat musik seadanya. Seperti gitar kecil, kecrekan dan berbagai jenis alat musik jalanan.
Seolah tak ada tuntutan menjadi lebih baik, anak-anak yang masih usia sekolah tersebut terus melakukan aksinya di jalanan setiap hari. Awalnya, saya mencoba dari sekitar sepuluh orang mengajak mereka belajar di emperan masjid dan menyelipkan tanya, masih adakah rasa ingin belajar dalam diri mereka? Namun, tak hanya mereka, waktu bergulir banyak yang berminat bahkan yang bukan usia sekolah lagi.
Mencetak generasi mandiri, cerdas, berakhlak baik dan mencetak pribadi yang kreatif merupakan tujuan dari didirikannya sekolah ini.
Berdasar pada niat yang baik dan berbagi rasa serta kepedulian terhadap lingkungan sekitar, dan intinya menganggap ini kewajiban, bukan beban, membuat Andre tergugah untuk terus memikirkan nasib anak-anak jalanan ini.
Bermodal warung Tegal (warteg) milik Rohim dan berkembangnya usaha Andre menjadi konsultan bangunan dan supplier peralatan kantor menjadi titik terang menggeliatnya sekolah ini. Tak menampik, sumbangan dari donator pun sangat membantu berkembangnya sekolah ini.
Dari buka counter handphone hingga bisa mendirikan yayasan adalah hal yang paling indah buat Andre.
“Saya punya kebahagiaan, saat saya bisa membahagiakan orang lain. Pada saat saya bisa membuat orang senang, dan bisa membuat mereka mandiri, itu sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan uang”, ungkapnya yakin.
“Semuanya akan tertebus ketika melihat mereka bisa bersaing dengan dunia luar dengan bekal yang mereka miliki yaitu kepintaran, keterampilan dan akhlak yang baik. Sehingga berguna bagi dirinya minimal dan bisa bermanfat juga bagi orang-orang disekitarnya,” tambahnya penuh harap.
Sama halnya dengan Andre, Mustamiin (26), salah satu tenaga relawan juga turut bahagia dengan adanya sekolah ini. “Ketika pola pikir berubah, cara pandang, kepercayaan diri muncul, itu yang mahal,” ungkapnya.
Memulai dengan “Kau adalah temanku“ itu membuat pengajaran lebih diterima mereka. “Lebih kepada pendekatan personal itu penting, tanpa menggurui,” ucapnya terharu.
Tak hanya sekolah, usaha sablon milik Mustamiin juga salah satu ladang kerja ketika mereka lulus nanti. Tak lain, “Ini adalah kebermaknaan hidup, membuat semuanya bisa berjalan hingga sekarang,”ucapnya.
Sekolah yang terletak di belakang terminal Depok ini, memulai sekolahnya di masjid sehingga kemudian dikenal dengan nama sekolah Master (Masjid Terminal). Namanya juga belakang terminal, tak heran jika penghuninya pun berasal dari kalangan anak jalanan, pengamen, preman, bahkan pembantu rumah tangga dan office boy pun ikut meramaikan sekolah ini.
Masjid terminal atau Master merupakan pahlawan bagi mereka. Mereka tak lagi dikucilkan dalam masyarakat, malah mereka patut bangga dengan sebutan gelandangan yang mampu bersaing dengan dunia luar. Misalnya saja, M. Ayatullah Komeni (20) lulusan Yayasan Bina Insan Mandiri ini lolos dalam UMPTN sastra Jawa Universitas Indonesia tahun lalu. Sama halnya dengan dua temannya yang juga lolos UMPTN. Ini sebuah kebanggaan!.
“Tak hanya keakraban guru dengan murid, disini ajang pendidikan yang memupuk rasa cinta dan kepedulian yang tinggi terhadap sesama”, ucap sang juara. Tak ada imbalan untuk mereka, hanya kewajiban moral untuk mengajar disini sebagai ungkapan rasa kepedulian terhadap sesama. Ini patut dikembangkan!
-----0-----
Oleh : Dewi Rachmat Kusuma
-------------------------------------
Nurrohim dan Purwandri Ono sepakat mendirikan sekolah untuk anak-anak jalanan. Tak ada manusia yang menginginkan terlahir menjadi gelandangan. Begitu juga dengan anak-anak di sekolah ini. Yayasan Bina Insan Mandiri ini telah menelurkan sekitar seribu-an murid sejak tahun 2004 dengan 50 tenaga pengajar relawan.
Dari TK, SD, SMP, hingga SMA, semua kalangan pinggiran itu belajar disini. Bahkan, ada program satu tahun kelas akademisi untuk mereka yang memiliki akademis bagus dan akan dilanjutkan ke perguruan tinggi. Semua pendidikan itu gratis yang nyata bukan mitos.
Ketika itu, ungkap Andre (42), sapaan akrab Purwandri Ono, aktivitas saya yang berjualan handphone di terminal Depok selalu mampir ke masjid saat istirahat. Selain sholat, tak hanya untuk merebahkan tubuh karena letih, saya pun memperhatikan lalu lalang sekumpulan anak yang asyik bersenda gurau dengan masing-masing alat musik seadanya. Seperti gitar kecil, kecrekan dan berbagai jenis alat musik jalanan.
Seolah tak ada tuntutan menjadi lebih baik, anak-anak yang masih usia sekolah tersebut terus melakukan aksinya di jalanan setiap hari. Awalnya, saya mencoba dari sekitar sepuluh orang mengajak mereka belajar di emperan masjid dan menyelipkan tanya, masih adakah rasa ingin belajar dalam diri mereka? Namun, tak hanya mereka, waktu bergulir banyak yang berminat bahkan yang bukan usia sekolah lagi.
Mencetak generasi mandiri, cerdas, berakhlak baik dan mencetak pribadi yang kreatif merupakan tujuan dari didirikannya sekolah ini.
Berdasar pada niat yang baik dan berbagi rasa serta kepedulian terhadap lingkungan sekitar, dan intinya menganggap ini kewajiban, bukan beban, membuat Andre tergugah untuk terus memikirkan nasib anak-anak jalanan ini.
Bermodal warung Tegal (warteg) milik Rohim dan berkembangnya usaha Andre menjadi konsultan bangunan dan supplier peralatan kantor menjadi titik terang menggeliatnya sekolah ini. Tak menampik, sumbangan dari donator pun sangat membantu berkembangnya sekolah ini.
Dari buka counter handphone hingga bisa mendirikan yayasan adalah hal yang paling indah buat Andre.
“Saya punya kebahagiaan, saat saya bisa membahagiakan orang lain. Pada saat saya bisa membuat orang senang, dan bisa membuat mereka mandiri, itu sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan uang”, ungkapnya yakin.
“Semuanya akan tertebus ketika melihat mereka bisa bersaing dengan dunia luar dengan bekal yang mereka miliki yaitu kepintaran, keterampilan dan akhlak yang baik. Sehingga berguna bagi dirinya minimal dan bisa bermanfat juga bagi orang-orang disekitarnya,” tambahnya penuh harap.
Sama halnya dengan Andre, Mustamiin (26), salah satu tenaga relawan juga turut bahagia dengan adanya sekolah ini. “Ketika pola pikir berubah, cara pandang, kepercayaan diri muncul, itu yang mahal,” ungkapnya.
Memulai dengan “Kau adalah temanku“ itu membuat pengajaran lebih diterima mereka. “Lebih kepada pendekatan personal itu penting, tanpa menggurui,” ucapnya terharu.
Tak hanya sekolah, usaha sablon milik Mustamiin juga salah satu ladang kerja ketika mereka lulus nanti. Tak lain, “Ini adalah kebermaknaan hidup, membuat semuanya bisa berjalan hingga sekarang,”ucapnya.
Sekolah yang terletak di belakang terminal Depok ini, memulai sekolahnya di masjid sehingga kemudian dikenal dengan nama sekolah Master (Masjid Terminal). Namanya juga belakang terminal, tak heran jika penghuninya pun berasal dari kalangan anak jalanan, pengamen, preman, bahkan pembantu rumah tangga dan office boy pun ikut meramaikan sekolah ini.
Masjid terminal atau Master merupakan pahlawan bagi mereka. Mereka tak lagi dikucilkan dalam masyarakat, malah mereka patut bangga dengan sebutan gelandangan yang mampu bersaing dengan dunia luar. Misalnya saja, M. Ayatullah Komeni (20) lulusan Yayasan Bina Insan Mandiri ini lolos dalam UMPTN sastra Jawa Universitas Indonesia tahun lalu. Sama halnya dengan dua temannya yang juga lolos UMPTN. Ini sebuah kebanggaan!.
“Tak hanya keakraban guru dengan murid, disini ajang pendidikan yang memupuk rasa cinta dan kepedulian yang tinggi terhadap sesama”, ucap sang juara. Tak ada imbalan untuk mereka, hanya kewajiban moral untuk mengajar disini sebagai ungkapan rasa kepedulian terhadap sesama. Ini patut dikembangkan!
-----0-----
1 komentar:
sebaik2nya orang yg bermanfaat adalah orang yg bisa memposisikan diri dgn mngamalkan harta(ilmu),sehingga bermanfaat untuk orang lain..subhanalloh........
Posting Komentar