Kecewa pasti karena
tradisi mudik lebaran hanya terjadi setahun sekali. Mimpi untuk berkumpul
bersama keluarga pun terpaksa dipending sampai
lebaran tahun depan, itu juga kalau masih dikasih kesempatan umur. Padahal,
jarak kampungku dari Jakarta hanya 3 jam di hari normal, namun beda lagi kalau
lebaran, bisa jadi seharian di dalam mobil seperti mudik tahun kemarin, dan itu
rasanya ‘stres’ banget padahal itu di
mobil pribadi, maklum jalur pantura. Hal itulah yang bikin saya ‘ogah’ naik kendaraan umum, ga bisa dibayangin kayak
apa rasanya.
H-3 lebaran tepatnya Senin,
5 Agustus 2013 aku masih dapet jadwal
masuk kerja dan baru bisa libur di hari Selasa, artinya di H-2 lebaran. Keluargaku
sudah memaksaku pulang di H-5 lebaran atau tepatnya weekend di hari Sabtu.
“Cepet pulang nanti
macet, sopirnya juga mumpung masih
ada, nanti deket-deket lebaran udah ga ada sopir. Kalau mau, sekarang dijemput,” ujar suara di seberang telepon.
Apa mau dikata, tawaran
jemputan yang jadi agenda rutin tiap libur lebaran pun ditolak. “Baru bisa
pulang Senin malam atau Selasa pagi,” kataku menjawab telepon. “Susah kalo mepet
gitu. Pakai bus umum aja,” begitu katanya.
Tawar-menawar dan
rayu-merayu masih menjadi ‘andalan’ kita (aku dan adik perempuanku) untuk bisa
dijemput di H-2 lebaran. Setiap tahun tawar-menawar selalu ada dan kita selalu
berhasil. Tapi kali ini, semua itu tidak berlaku.
Hingga Rabu, belum ada
tanda-tanda keluargaku melunak untuk bisa jemput. Jasa travel dan rental mobil
pun diburu tapi sia-sia, dan memang selama ini tidak ada travel yang melayani
jurusan Jakarta-Indramayu, rute nanggung!
Tahun ini terancam batal
mudik, dan benar saja, hingga malam takbiran keluarga benar-benar tidak ada
yang mau mengalah untuk menjemput kita.“Emang sama sekali ga bisa jemput kita?,” kataku lewat
sambungan telepon. “Semua mobil keluar, ga ada mobil satu pun, coba usaha
sendiri,” katanya menjawab teleponku.
Jawaban di telepon itu
cukup membuat kita sadar bahwa bisnis memang menjadi nomor wahid di keluargaku,
sementara keluarga entah nomor sekian.
Semua baju baru yang
sengaja aku siapkan untuk Mimi (nyokap), Papa, Nenek, dan adik laki-lakiku
terpaksa aku “lemarikan’ kembali. Sedikitnya 16 ‘angpao’ lebaran yang sudah aku
siapin jauh-jauh hari juga terpaksa
aku ‘dompetkan’ kembali. Angpao lucu-lucu buat Mimi, Papa, Nenek, 2 adikku, 7
keponakan, 2 sepupu, dan 2 saudara kecilku terpaksa cuma jadi kenang-kenangan. Semuanya
sia-sia!
Tahun ini, tak ada lebaran untukku. Semua impian di hari lebaran
tercecer berantakan hanya masalah sepele.
Tak ada sungkem, tak
ada keluarga, tak ada ketupat dan opor ayam, tak ada kembang api, tak ada
petasan, tak ada bagi-bagi angpao, dan satu lagi tak ada tangisan nenek di
setiap lebaran. Setiap lebaran nenekku selalu nangis saat kita semua cium
tangannya, “Kalian yang rukun-rukun ya, mungkin ini lebaran terakhir Ema
(panggilan nenek),” ujarnya sembari meneteskan air mata. Tapi nyatanya, hingga
tahun ini nenek masih diberikan kesehatan. Mudah-mudahan masih bisa ketemu di
lebaran tahun berikutnya ya, nek.. Amin!
Tahun ini menjadi tahun
pertama tanpa mudik ke kampung halaman. Jangan nangis Dewi, semangat!
Jika
Emosi Mengalahkan Logika, Terbukti Banyak Ruginya, kan?
Lebaran
2013,
_sangdewi_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar