Sabtu, Agustus 10, 2013

Tak Ada ‘Lebaran’ di Tahun Ini

Kecewa pasti karena tradisi mudik lebaran hanya terjadi setahun sekali. Mimpi untuk berkumpul bersama keluarga pun terpaksa dipending sampai lebaran tahun depan, itu juga kalau masih dikasih kesempatan umur. Padahal, jarak kampungku dari Jakarta hanya 3 jam di hari normal, namun beda lagi kalau lebaran, bisa jadi seharian di dalam mobil seperti mudik tahun kemarin, dan itu rasanya ‘stres’ banget padahal itu di mobil pribadi, maklum jalur pantura. Hal itulah yang bikin saya ‘ogah’ naik kendaraan umum, ga bisa dibayangin kayak apa rasanya.

H-3 lebaran tepatnya Senin, 5 Agustus 2013 aku masih dapet jadwal masuk kerja dan baru bisa libur di hari Selasa, artinya di H-2 lebaran. Keluargaku sudah memaksaku pulang di H-5 lebaran atau tepatnya weekend di hari Sabtu.

“Cepet pulang nanti macet, sopirnya juga mumpung masih ada, nanti deket-deket lebaran udah ga ada sopir. Kalau mau, sekarang  dijemput,” ujar suara di seberang telepon.

Apa mau dikata, tawaran jemputan yang jadi agenda rutin tiap libur lebaran pun ditolak. “Baru bisa pulang Senin malam atau Selasa pagi,” kataku menjawab telepon. “Susah kalo mepet gitu. Pakai bus umum aja,” begitu katanya.

Tawar-menawar dan rayu-merayu masih menjadi ‘andalan’ kita (aku dan adik perempuanku) untuk bisa dijemput di H-2 lebaran. Setiap tahun tawar-menawar selalu ada dan kita selalu berhasil. Tapi kali ini, semua itu tidak berlaku.

Hingga Rabu, belum ada tanda-tanda keluargaku melunak untuk bisa jemput. Jasa travel dan rental mobil pun diburu tapi sia-sia, dan memang selama ini tidak ada travel yang melayani jurusan Jakarta-Indramayu, rute nanggung!

Tahun ini terancam batal mudik, dan benar saja, hingga malam takbiran keluarga benar-benar tidak ada yang mau mengalah untuk menjemput kita.“Emang sama sekali ga bisa jemput kita?,” kataku lewat sambungan telepon. “Semua mobil keluar, ga ada mobil satu pun, coba usaha sendiri,” katanya menjawab teleponku.
Jawaban di telepon itu cukup membuat kita sadar bahwa bisnis memang menjadi nomor wahid di keluargaku, sementara keluarga entah nomor sekian.

Semua baju baru yang sengaja aku siapkan untuk Mimi (nyokap), Papa, Nenek, dan adik laki-lakiku terpaksa aku “lemarikan’ kembali. Sedikitnya 16 ‘angpao’ lebaran yang sudah aku siapin jauh-jauh hari juga terpaksa aku ‘dompetkan’ kembali. Angpao lucu-lucu buat Mimi, Papa, Nenek, 2 adikku, 7 keponakan, 2 sepupu, dan 2 saudara kecilku terpaksa cuma jadi kenang-kenangan. Semuanya sia-sia! 

Tahun ini, tak ada lebaran untukku. Semua impian di hari lebaran tercecer berantakan hanya masalah sepele.
Tak ada sungkem, tak ada keluarga, tak ada ketupat dan opor ayam, tak ada kembang api, tak ada petasan, tak ada bagi-bagi angpao, dan satu lagi tak ada tangisan nenek di setiap lebaran. Setiap lebaran nenekku selalu nangis saat kita semua cium tangannya, “Kalian yang rukun-rukun ya, mungkin ini lebaran terakhir Ema (panggilan nenek),” ujarnya sembari meneteskan air mata. Tapi nyatanya, hingga tahun ini nenek masih diberikan kesehatan. Mudah-mudahan masih bisa ketemu di lebaran tahun berikutnya ya, nek.. Amin!

Tahun ini menjadi tahun pertama tanpa mudik ke kampung halaman. Jangan nangis Dewi, semangat!
Jika Emosi Mengalahkan Logika, Terbukti Banyak Ruginya, kan?

Lebaran 2013,

_sangdewi_


Tidak ada komentar: